Identitas Orang Jawa yang Mulai Menghilang

Suku Jawa yang Identik dengan Busananya (Gambar diambil dari web Phinemo.com)

DIORAMALANG.COM, 3 SEPTEMBER 2020 – Berbicara mengenai budaya Jawa tentu sangat beragam sekali, terlebih lagi dengan bahasa Jawa yang memiliki stratifikasi dalam penggunaannya. Terlebih lagi dengan tata krama yang juga dijunjung tinggi oleh etnis Jawa.

Namun yang menjadi sorotan saya adalah, akhir-akhir ini banyak fenomena yang seakan-akan mengejek bahwa orang Jawa itu kampungan atau ndeso dan sebagainya. Terlebih lagi mereka mengutarakan pendapatnya yang seperti itu melalui salah satu sosial media yang sedang naik daun. Mendengar seperti itu tentu sangat mengiris hati saya sebagai orang Jawa.

Padahal jika dipikirkan kembali banyak dari pahlawan-pahlawan nasional juga terlahir di tanah Jawa. Presiden pertama Republik Indonesia juga berasal dari Jawa Timur. Tentu hal ini mengundang amarah masyarakat khususnya Jawa.

Orang-orang Jawa yang selalu mengedepankan tata krama pada setiap tingkah laku dan perkataannya yang akhirnya banyak disegani oleh etnis-etnis lain. Namun bukan berarti etnis batak, sunda, bugis, dan sebagainya tidak memiliki tata krama dan sopan santun. Tentu saja tetap ada, namun jika dibandingkan dengan etnis Jawa mungkin berbeda.

Begitu pun sebaliknya, belum semua orang etnis Jawa memiliki sifat yang Njawani atau selalu bertutur lembut dan kalem. Kita ambil contoh seperti orang-orang Surabaya, mereka yang terkenal dengan nada bicara yang cukup tinggi dianggap tidak Njawani. Namun sebenarnya tidak begitu.

Banyak sekali identitas yang melekat erat pada orang-orang Jawa, sehingga dengan mudah etnis lain melihatnya. Namun menjadi sangat miris ketika melihat orang Jawa tulen yang lupa dengan identitasnya. Contohnya saja ketika ditanya perihal angka-angka Jawa, kebanyakan mereka saat ini belum sepenuhnya hafal dengan angka-angka Jawa.

Terlebih lagi ketika orang Jawa yang sedang merantau ke Ibukota, kebanyakan dari mereka jika sudah lama berada di sana, secara otomatis akan mengikuti gaya bahasa dan pelafalan yang sama dengan orang-orang Ibukota.

Namun ada pula yang gaya bahasanya masih sama seperti orang Jawa. Tetapi di waktu-waktu tertentu juga mereka juga menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun dalam menggunakan bahasa Indonesia, setidaknya sebagian besar orang Jawa dalam melafalkannya masih sedikit medhok.

Sehingga dengan hal itu lah akhirnya etnis lain, mengerti bahwa ia orang Jawa atau bukan. Fenomena orang Jawa yang tetap membawa identitasnya ini sebenarnya sudah banyak terjadi. Seperti yang pernah saya jumpai ketika berkunjung ke Ibukota Indonesia, yaitu Jakarta. Saya bertemu dengan pegawai minimarket, yang saya kira memang orang tersebut asli kelahiran Jakarta, sehingga tidak dapat berbahasa Jawa. Gaya bahasanya pun khas Ibukota, begitu juga dengan pelafalan bahasa Indonesia yang terdengar tidak medhok.

Namun ketika saya mendengar sedikit pembicaraan pegawai tersebut dengan rekan kerjanya, mereka menggunakan bahasa Jawa yang khas dengan Kota Malang. Sungguh saat itu saya dibuat terkejut, mengapa begitu?

Mereka tetap bisa membawa diri dalam menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Tanpa harus meninggalkan ciri khasnya sebagai orang Malang, meskipun berada jauh dari Malang.

Seperti menurut Ahmad Bahtiar, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Indraprasta PGRI dalam jurnal artikel yang ditulisnya menjelaskan, filsafat Jawa mengakui dan menerima positif makna dan nilai eksistensi yang sesuai citra Jawa. Dalam arus hidup yang terus-menerus dalam peredaraan zaman segala sesuatunya mempunyai tempat yang pantas, setiap orang memainkan perannya yang khas.

Seseorang yang mampu mengimplementasikan identitas Jawa dalam konteks perilaku seperti baik hati, penuh perhatian, dan menolong orang lain. Maka ia dapat dikatakan Njawa, namun saya tegaskan kembali bahwa belum tentu etnis lain tidak njawa.

Sebenarnya konteks njawa ini sangat banyak sekali, ada yang dikaitkan dengan etika, perilaku, bertutur, berpakaian, dan sebagainya. Seperti yang disampaikan Ayu Soetarto (2007) dalam Terakota.id, orang Jawa sebenarnya memiliki tugas menantang untuk benar-benar menjadi Jawa dan mencoba orang lain (dari etnik lain) njawani karena dalam kebudayaan Jawa memang terkandung nilai-nilai luhur dan agung.

Misalnya saja masyarakat Kota maupun Kabupaten Malang, kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Berperilaku sopan, berbicara tidak menggunakan intonasi yang tinggi. Hal tersebut juga dapat dikatakan njawani.

Terlebih lagi dengan suku Tengger yang bertempat tinggal di kaki Gunung Bromo, sungguh mereka tidak pernah lupa dengan budaya dan adat Jawa Tengger yang sampai saat ini mereka lestarikan. Berperilaku dan beretika njawani sangat dipegang erat oleh suku ini. Maka tidak heran meskipun sesama orang Jawa tetapi tetap mengagumi suku Tengger ini.

Fakta yang saat ini terjadi di sekitar kita adalah, masyarakat Jawa saat ini perlahan mulai menghilangkan identitasnya sebagai orang Jawa, yaitu njawani yang juga masuk ke berbagai perspektif.

Tidak banyak memang orang-orang Jawa yang lupa akan identitasnya sebagai orang Jawa, namun lambat laun seiring berkembangnya zaman tentu akan menjadi suatu kekhawatiran akan musnahnya budaya dan tradisi Jawa.

Sungguh amat disayangkan, terlebih lagi jika saat ini para pemuda sudah anti dengan hal yang berbau kesenian dan budaya tradisi Jawa. Dan yang lebih mengenaskan lagi, mereka tidak bangga dengan bahasa Jawa.

Bahasa walikan yang biasa digunakan oleh masyarakat Malang, itu juga termasuk ke dalam identitas orang Jawa. Ketika orang-orang Malang menggunakan bahasa walikan di luar daerahnya, tentu saja hal tersebut akan menjadi salah satu tanda untuk diri kita sebagai orang Malang.

Fenomena-fenomena yang saat ini terjadi pada masyarakat akhirnya memunculkan hibriditas kultural. Definisi hibriditas kultural menurut Ikwan Setiawan, Matatimoer Institute, dalam artikel yang ditulisnya, merupakan sebuah realitas dari produksi budaya yang mengambil beberapa unsur dari dua atau lebih budaya yang bisa menciptakan bentuk baru atau memperbarui budaya yang sudah ada.

Maka dari itu munculnya globalisasi ini juga berdampak besar bagi budaya dan tradisi kita. Terlebih lagi hal tersebut juga akan memunculkan budaya baru bagi kita, yang mungkin juga sebagian diambil dari budaya lokal, namun tidak semua.

Menjadi Jawa bukan semata-mata untuk kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Namun juga diperlukan kesadaran dan kebanggaan dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari. (Siw)

Penulis: Shofiyatul Izza W

Editor: Rofidah Noor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.