Etnis Tionghoa Jadi Kelompok Mayoritas Peziarah Gunung Kawi?

Ciam Si (tempat meramal nasib) khas Tionghoa yang berlokasi di Pesarean Gunung Kawi. Ciam Si jadi salah satu tempat paling populer bagi peziarah yang datang ke tempat ini (Gambar diambil dari blog Tugaskab)
DIORAMALANG.COM, 3 SEPTEMBER 2020 – Seperti yang kita tahu, Gunung Kawi merupakan salah satu gunung aktif di pulau Jawa yang letaknya berada di Kabupaten Malang, dengan ketinggian 2551 meter atau 8369 kaki dari permukaan laut. Gunung ini menjadi salah satu destinasi wisata religi yang cukup terkenal di pulau Jawa.
Bagi beberapa orang, aktivitas religi merupakan kewajiban yang ketika dilakukan secara terus-menerus akan terasa seperti kebutuhan. Aktivitas ini sendiri punya berbagai fungsi yang mana tergantung oleh orang yang melakukannya. Ada yang menggunakan aktivitas religi sebagai menyembah Tuhan, menentramkan hati, melepas stress, hingga mendapatkan kelimpahan rezeki.
Alasan yang mendasari Gunung Kawi sebagai destinasi wisata religi karena gunung ini merupakan tempat yang selalu dihubungkan dengan budaya-budaya Jawa yang kental akan kisah mistis serta pesugihan. Selain itu Gunung Kawi sendiri memiliki keindahan alam serta kesejukan yang tidak kalah dengan destinasi wisata lain dikarenakan wilayah Gunung Kawi yang masih sangat asri dan terjaga.
Salah satu fenomena yang menarik perhatian dari kawasan Gunung Kawi adalah masalah pembauran. Pembauran etnis Tionghoa, Islam, dan Jawa disebabkan oleh latar belakang sejarah yang bermula dari pembentukan desa serta kepercayaan dari masing-masing etnis mengenai pesarean Gunung Kawi. Gunung Kawi merupakan ikon khas atas akulturasi budaya Tionghoa, Islam, dan Jawa. Terlihat dari kumpulan bangunan yang berdiri beriringan di sepanjang jalan menuju pesarean Gunung Kawi dan juga tempat peribadatan yang ada.
Komplek pesarean Gunung Kawi memiliki tiga bangunan peribadatan, yaitu Masjid sebagai tempat ibadah masyarakat Muslim, Klenteng sebagai tempat ibadah masyarakat Tionghoa, lengkap dengan Ciam Si serta Pesarean Gunung Kawi sebagai petilasan yang bersejarah bagi masyarakat Jawa.
Beberapa hal yang melatarbelakangi para etnis Tionghoa rajin untuk berziarah ialah karena terdapat makam pesarean Eyang Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego dan Raden Mas Imam Soedjono atau Eyang Soedjo. Keduanya adalah murid Pangeran Diponegoro dan tokoh Islam yang ditokohkan dan jadi guru Ta Kie Yam (Pek Yam), nenek moyang para peziarah beretnis Tionghoa.
Meski Pek Yam telah tiada, namun kawasan pesarean Gunung Kawi, terutama Kuil Kwan Im dan kediaman Pek Yam masih menjadi tujuan utama mereka. Hal ini ditengarai hormat mereka kepada nenek moyangnya. Ziarah kubur ini juga merupakan salah satu wujud rasa terima kasih dan pengabdian para etnis Tionghoa kepada Eyang Soedjo yang telah menyayangi Pek Yam.
Rasa syukur dan terima kasih ditanamkan dalam benak dan pikiran peziarah Tionghoa yang kemudian menjadi keberkahan. Dengan adanya kepercayaan atau sugesti yang tertanam kepada mereka ini diharapkan dapat memunculkan nilai kemakmuran jika semakin sering berziarah.
Hingga akhirnya muncul stigma yang mendominasi di masyarakat bahwa berkunjung ke Gunung Kawi merupakan kegiatan atau aktivitas untuk mencari pesugihan (kekayaan). Memang tidak dapat dipungkiri, pemikiran masyarakat tersebut juga membawa keberkahan bagi masyarakat di sekitar Gunung Kawi, karena perekonomian masyarakat sekitar mereka secara perlahan meningkat dengan adanya makam pesarean tersebut.
Kedua makam pesarean tersebut banyak dikunjungi oleh para wisatawan yang ingin berziarah atau sekedar berkunjung melihat pluralitas agama yang terdapat di Gunung Kawi, yang mayoritas dikunjungi oleh masyarakat etnis Tionghoa. Hal ini membuka peluang bagi masyarakat sekitar untuk menjajakan jualan mereka yang berupa makanan, minuman, aksesoris atau cinderamata dan jasa tour guide sehingga dapat meningkatkan perekonomian desa sekitar.
Menurut saya, stigma yang berkembang di masyarakat akan pesugihan yang dilakukan etnis Tionghoa di Gunung Kawi tidak benar. Terlepas dari percaya atau tidaknya akan ritual-ritual pesugihan tersebut, saya beranggapan bahwa ritual-ritual yang ada di Gunung Kawi tersebut merupakan suatu tradisi kebudayaan turun-temurun yang berguna untuk meningkatkan solidaritas antar umat beragama dalam bermasyarakat.
Adanya percampuran kebudayaan-kebudayaan ini akan mencerminkan sikap masyarakat Indonesia yang saling menghormati sesuai nilai pancasila sila kedua. Sejalan dengan pernyataan Bambang Hariyanto, Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di dalam jurnalnya, bahwa beragamnya pengunjung yang datang ke Gunung Kawi dapat menumbuhkan rasa saling menghormati dan toleransi tinggi jika memiliki persepsi yang sama dan tujuan yang sama.
Hal ini ditunjukkan lewat persepsi etnis Tionghoa yang datang untuk berkunjung mendoakan leluhur mereka agar leluhur mereka mendapat ketenangan jiwa dan tak jauh beda dengan etnis Jawa yang berkunjung ke Pesarean Gunung Kawi untuk mendoakan leluhur mereka juga. Mereka sama-sama saling mendoakan leluhur akan tetapi dengan cara yang berbeda, hal ini tentunya akan menumbuhkan sikap toleransi di antara kedua etnis tersebut.
Di dalam jurnal ini juga disebutkan bahwa sikap “dialogis” akan memberikan wawasan saling terbuka dan saling menerima perbedaan apabila di antara etnis Jawa, Islam maupun Tionghoa sama-sama mengembangkan sikap dialogis. Dialogis sendiri merupakan sebuah interaksi dua individu yang memiliki timbal balik antar sesamanya.
Kedua, menurut jurnal yang berjudul “Percampuran Budaya Islam, Jawa, dan Cina Dalam Membangun Kolaborasi Sosial Pada Masyarakat di Daerah Gunung Kawi Kabupaten Malang”, dikatakan bahwa dari hasil analisis ditemukan jawaban bahwa percampuran budaya antara Islam, Jawa, dan Cina disikapi positif oleh masyarakat sekitar Gunung Kawi. Percampuran budaya tersebut meliputi banyak hal, mulai dari bentuk tempat peribadatan, pertunjukan seni, kepercayaan, dan sebagainya.
Semua itu mengandung nilai-nilai luhur yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Hal tersebut sesuai dengan hakikat nilai sejarah yang melekat bahwa seluruh kebudayaan yang ada merupakan bagian dari peristiwa sejarah yang penting. Nilai-nilai luhur tersebut yaitu nilai keanekaragaman, nilai religius, nilai gotong royong, nilai kebersamaan, nilai kerukunan, dan nilai persatuan yang dapat mendorong terwujudnya percampuran budaya Islam, Jawa, dan Cina di Pesarean Gunung Kawi.
Maka dapat disimpulkan bahwa adanya peziarah dengan etnis Tionghoa di Pesarean Gunung Kawi ini merupakan fenomena biasa yang terjadi disebabkan hubungan yang sudah mendalam antara diri mereka dengan nenek moyang, yang kemudian terus diamalkan secara repetitif karena aktivitas ziarah yang dilakukan ternyata berdampak baik dalam kehidupan, salah satunya pada kekayaan atau harta. (Rof)
Penulis: Rofidah Noor
Editor: Shofiyatul Izza W