Jaranan Malang, Kesenian yang Mulai Terlupakan

jaran kepang malangan

Kesenian Jaranan Malang yang Sudah Mulai Menurun Eksistensinya (Gambar diambil dari web Malangmerdeka.com)

DIORAMALANG.COM, 29 SEPTEMBER 2020 – Tak hanya terkenal melalui suasana yang nyaman, Malang juga menyimpan berbagai macam budaya khas yang tak bisa diabaikan Ker!. Berbicara mengenai budaya, salah satu yang menarik dari Malang adalah kesenian khas daerah yang mereka miliki. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, masih ada kelompok masyarakat yang melestarikan kesenian daerah yang sudah berumur ratusan tahun untuk mengingat sejarah dan asal usul kita. Salah satunya seni Jaranan yang merupakan kesenian yang ada di Malang. Mungkin sebagian dari kalian sudah mengetahui kesenian tersebut atau mungkin ada juga yang belum tahu dengan kesenian jaranan yang satu ini? Daripada penasaran, yuk langsung ikuti pertunjukan unik satu ini.

Pada Awalnya, seni Jaranan lahir sebagai simbolisasi bahwa rakyat juga memiliki kemampuan dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bala tentara. Dikutip dari Ngalam.co Kesenian Tari Jaran Kepang Malang memang tak hanya ada di Malang. Di berbagai kota pun kesenian ini ada.

Ciri khas antara Jaran Kepang satu dengan Jaran Kepang lainnya itulah yang membuat beda sesuai karakter daerah asalnya. Seperti penggambaran Jaranan, Jaran Dor Malangan (karakter Malangan keras, berani tapi jujur), Blitaran, Tulungagungan dan Banyuwangian. Perbedaan tersebut ada pada karakter, gerakan dan cara main serta filosofinya.

Namun dalam penamaan kesenian ini pada masing-masing daerah terdapat perbedaan dan hampir semuanya memiliki cita rasa yang sama dan selalu diidentikkan dengan istilah “kuda buatan”. Seperti itulah adanya. Istilah Jaranan sendiri berasal dari bahasa Jawa, “jaran” yang berarti Kuda. Sedangkan akhiran “-an” dimaknai sebagai bukan sungguhan atau hanya sekedar mainan/buatan.

Pertunjukan Tari Jaranan ini juga di iringi oleh berbagai musik tradisional gamelan seperti kenong, kendang, gong dan lain-lain. Dalam pertunjukan Tari Jaranan ini terkesan dengan nilai spiritualnya. Sehingga tidak jarang pada saat pertunjukan para penari ada yang mengalami kesurupan. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat jawa pada jaman dahulu akan roh-roh para leluhur. Hal tersebut membuat masyarakat menjadikan Tari Jaranan ini sebagai alat komunikasi dengan leluhur mereka.

Saat pertujukan Tari Jaranan terdapat seorang pawang atau yang sering di sebut dengan Gambuh. Tugas dari gambuh disini untuk melakukan ritual, berkomunikasi dengan leluhur dan menyembuhkan penari yang kesurupan. Pada saat pertunjukan, sang gambuh membacakan mantra dan memanggil roh leluhur untuk memasuki raga sang penari. Setelah roh tersebut masuk ke raga sang penari maka penari akan menari tanpa sadarkan diri, karena raga sang penari sudah dikendalikan oleh roh yang memasukinya.

Mereka akan menari sambil melakukan berbagai atraksi seperti makan kembang, makan pecahan kaca. Tanpa merasa sakit seperti kebal terhadap benda tajam, mereka melakukan atraksi sambil menari didampingi sang Gambuh. Hal ini lah yang menjadi keunikan dari jaranan. Selain sebagai acara hiburan, tarian ini juga sebagai ritual dan penghormatan terhadap leluhur mereka.

Penjelasan fungsi ritual juga terdapat pada Jurnal Bahasa dan Seni yang ditulis oleh Soerjo Wido Minarto, seperti kebanyakan kesenian rakyat pada umumnya, kesenian Jaran Kepang memiliki keistimewaan di masyarakat. Ada tiga fungsi yaitu ritual, pameran atau festival kerakyatan dan tontonan atau bersifat entertainment, yaitu kepuasan batin semata.

Dalam fungsinya sebagai ritual, Jaran Kepang memiliki berbagai macam simbol yang bernilai ritual, baik yang berupa fisik seperti uborampen atau alat kelengkapan ritual, pakaian, perhiasan dsb, serta berupa gagasan seperti mantra ataupun perilaku (gerakan maupun bunyi-buyian).

Kemudian laporan dari Siti Rutmawati kepada Merdeka.com, mereka menuturkan pembahasan mengenai salah satu buku yang ditulis oleh Dukut Imam Widodo dan kawan-kawannya dalam bukunya yang berjudul “Malang Tempo Doeloe: Djilid Doea”, Jaran Kepang dulunya merupakan salah satu pertunjukan yang bergengsi di kalangan masyarakat.

Ia menyampaikan bahwa salah satu rombongan jaran kepang setidaknya terdapat dua anggota besar, yaitu: Sekitar 2-3 orang penari yang menggunakan busana wayang, mengapit kuda-kudaan dan berkacamata hitam. Satu orang pemain caplokan dan satu orang yang macak pentul. Biasanya ia juga mengapit celeng-celengan. Satu orang pemukul kenong, satu orang pemukul gong, satu orang pemain kendang, satu orang peniup terompet yang bisanya merangkap sebagai pemimpin rombongan.

Seperti yang dikatakan Dukut Imam Widodo dalam bukunya, para rombongan Jaran Kepang ini “ngamen” dari kampung satu ke kampung lainnya. Jika beruntung, rombongan Jaran Kepang ini akan diborong untuk mengisi acara tertentu yang diadakan seseorang atau kampung tertentu. Sehingga, tak heran jika menghadirkan Jaran Kepang di kampung merupakan suatu hal yang dianggap bergengsi. Pasalnya, hanya orang kaya yang mampu menyewa rombongan Jaran Kepang untuk tampil.

Dalam sebuah Jurnal Kajian Seni yang ditulis oleh Hanifati Alifa Radhia menyebutkan beberapa kelompok kesenian masyarakat di Malang yang masih melestarikan Tarian Jaranan Malang sebagai pertujukan atau hiburan masyarakat.

1. Kelompok “Turonggo Sakti” Kelompok Jaran Kepang “Turonggo Sakti” beranggotakan 20 orang. Untuk kegiatan rutin, Fiki dan kelompoknya setiap malam Jumat Legi mereka melakukan pertunjukan atau biasa disebut sebagai gebyak di Mergosono meskipun tidak ada yang mengundang atau menanggap (mengundang). Selain di Mergosono, mereka juga melakukan gebyak di Wagir, tepatnya di tempat tinggal ketua kelompok bernama Bapak Warsito.

2. Kelompok “Satrio Manunggal” yang berada di Pandanwangi, Kota Malang, terdapat kelompok kesenian yang menaungi pertunjukan Jaran Kepang bernama “Satrio Manunggal” yang didirikan pada tanggal 25 Februari 2009. Dalam kelompok ini, anggotanya berjumlah sekitar 80 orang namun sejumlah lima orang berasal dari wilayah kabupaten. Mayoritas anggota kelompok Jaran Kepang “Satrio Manunggal” merupakan masyarakat yang tinggal di Kelurahan Pandangwangi, Jalan Teluk Bayur, RT 09, RW 07 (dahulu disebut sebagai Dukuh Wonosalam, Desa Gandongan). Para pemain Jaran Kepang kelompok “Satrio Manunggal” rata-rata masih berusia muda, anak-anak dan lebih dominan oleh laki-laki.

3. Kelompok “Putra Manggala” terletak di Jalan MT Haryono, Dinoyo, Malang merupakan generasi kelima dari grup Jaran Kepang dhor. Kelompok yang diketuai Adi Dahniar Rizky (30 tahun) ini memiliki jumlah anggota sekitar 20-30 orang dengan para pemain yang masih berusia remaja. Kelompok “Putra Manggala” memiliki peralatan musik sendiri namun pemainnya menggunakan tenaga orang lain. Jaran Kepang kelompok “Putra Manggala” mengadakan pertunjukan pada malam hari atau tergantung permintaan untuk tampil, sebagai misal ada acara hajatan seperti ritual bersih desa, pernikahan, sunatan dll.

Dengan demikian menggali khasanah seni budaya Jawa sangatlah penting, karena seni yang ada begitu beragam, seperti yang telah kita ulas dan simak bersama Kesenian Jaranan yang terus digemari dan beberapa kelompok kesenian masyarakat yang masih melesstarikannya. Dari pada itu selanjutnya kitalah sebagai generasi penerus bangsa, kita harus dapat menjaga dan melestarikan kesenian tersebut Ker.

Hal tersebut dikarenakan agar masyarakat Indonesia tahu bahwa seni Jawa itu mampu bersaing dan masih layak dipandang oleh kehidupan masyarakat modern. Oleh karena itu pada saat ini para seniman, khususnya budaya Jawa, harus bisa berinovasi serta menggali lebih dalam lagi kesenian jaranan lalu kemudian berkreasi agar menarik minat masyarakat modern seperti jaman sekarang. (Fiq)

Penulis: Moh. Fiqih Aldy Maulidan

Editor: Alvien Wardhana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *