Relevansi Bahasa Walikan di Era Milenial

Ilustrasi Bahasa Walikan (Gambar diambil dari web Kompasiana.com)

DIORAMALANG.COM – 8 SEPTEMBER 2020 – Sebagai daerah dengan keunikan dan aneka ragam budayanya, Malang memiliki suatu budaya interaksi sosial berupa komunikasi yang menarik. Dikatakan menarik, karena gaya berkomunikasi ini beda dengan yang lain sehingga sudah menjadi ikon bagi masyarakat Malang.

Gaya komunikasi tersebut adalah dengan menggunakan bahasa yang dibalik atau biasa disebut boso walikan. Memang, tidak hanya Malang yang menggunakan boso walikan ini. Akan tetapi mayoritas masyarakat Indonesia khususnya Jawa, telah mengenal Malang dengan keunikan boso walikannya.

Lebih dari itu, boso walikan sendiri telah menyatu dengan proses komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat Malang dalam kehidupannya sehari-hari. Namun di era milenialsaat ini, para masyarakat khususnya kaum muda dihadapkan dengan budaya-budaya yang modern seperti penggunaan bahasa asing yang dianggap lebih gaul.

Maka timbul pertanyaan, apakah masih relevan menggunakan boso walikan oleh kaum milenial dalam berkomunikasi sehari-hari?

Sebelum pertanyaan tersebut terjawab, tentu terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan dan tantangan untuk melestarikan budaya interaksi sosial yang menarik ini. Dimana para kaum milenial telah dihadapkan dengan arus globalisasi sehingga membuat produk budaya luar negeri lebih menarik untuk diminati.

Belum lagi jika para kaum muda tidak menghargai budayanya sendiri dimana mereka rela kehilangan budayanya sendiri dengan dalih terlihat keren dan lebih kekinian. Hal tersebut merupakan dampak dari kurangnya pelestarian dan pengenalan lebih dalam tentang suatu budaya. Padahal di dalam budaya terdapat nilai-nilai yang positif.

Seperti boso walikan yang didalamnya terdapat nilai-nilai persatuan yang berawal dari solidaritas sehingga bisa mempererat tali persaudaraan. Dimanapun seseorang itu berada, jika bertemu orang lain yang sama-sama berasal dari Malang lalu menggunakan boso walikan dalam berkomunikasi, maka akan timbul rasa persaudaraan sekalipun mereka baru mengenal satu sama lain. Mereka akan berkomunikasi layaknya teman lama, teman dekat, hingga seperti keluarga sendiri.

Terlepas dari sejarah boso walikan sendiri, bahasa ini masih eksis hingga saat ini karena sebagai bukti kreativitas para Arek Malang dalam memberikan inovasi budaya melalui aspek komunikasi.

Senada dengan pemaparan Nur Fadly Hermawan dalam Jurnal Artikel yang ditulisnya menjelaskan bahwa bahasa ini merupakan bukti kreativitas remaja yang menginginkan adanya perubahan bahasa yang lebih baru dan segar dengan tujuan untuk mengintimkan percakapan dan menghindari kebosanan.

Maka tidak heran, jika para masyarakat Malang masih menggunakan boso walikan ini sebagai bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Uniknya, boso walikan sendiri semakin lama semakin mengalami perkembangan seiring dengan bahasa gaul yang berkembang.

Bahkan hingga terdapat sebutan bahasa prokem dimana bahasa tersebut merupakan boso walikan yang dipadukan dengan bahasa preman. Jadi budaya boso walikan sendiri merupakan budaya yang sangat fleksibel perkembangannya sehingga masih memiliki eksistensi di tengah kehidupan masyarakat Malang.

Penggunaan boso walikan dalam proses komunikasi masyarakat Malang, ternyata juga masih tenar dalam keberadaannya di tengah-tengah kaum milenialapalagi dengan perkembangannya.

Hal tersebut didukung dengan penjelasan dari Iin Rachmawaty dalam Jurnal Lakon, dimana sisi uniknya, generasi mudanya masih banyak yang dijumpai menggunakan bahasa prokem dalam percakapan sehari-hari dengan teman-teman sebaya mereka.

Tentu saja perkembangan tersebut menjadi daya tarik sendiri bagi kaum milenialdimana adanya pembaharuan dalam boso walikan bisa menjadi trend tersendiri. Meskipun demikian, budaya boso walikan masih sangat perlu dilestarikan agar masyarakat Malang tidak kehilangan identitasnya.

Mengingat semakin banyaknya budaya modern dari waktu ke waktu yang bisa menggeser budaya lokal, menjadi ancaman bagi boso walikan dalam penggunaannya.

Bentuk pelestarian tersebut bisa dimulai dengan tetap menggunakan boso walikan untuk berkomunikasi, mengangkat nama dari suatu produk dengan menggunakan boso walikan seperti Soak Ngalam, hingga pada branding keindahan Malang sendiri dengan sebutan Ngalam Kipa Ilakes.

Selain itu, perlunya peran media lokal juga berpengaruh besar untuk mengangkat budaya interaksi sosial asli Malang ini. Pembahasan boso walikan yang diangkat melalui media lokal, merupakan langkah awal dalam menyebarkan informasi mengenai boso walikan sehingga diharapkan mampu dikenal luas oleh masyarakat.

Jika boso walikan sudah tersebar luas dan dikenal banyak kalangan masyarakat, maka akan semakin tinggi eksistensi boso walikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahasa lain mengikuti gaya komunikasi masyarakat Malang dengan membalik beberapa kata.

Pengenalan yang luas juga akan memberikan dampak terhadap penggunaan boso walikan oleh masyarakat Malang, dimana Malang akan semakin kental dengan keunikan gaya komunikasinya. Tidak hanya itu, boso walikan akan semakin terlihat gaul dan kekinian sehingga penggunaannya masih sangat relevan bagi para kaum milenial.

Meskipun demikian, penggunaan boso walikan yang relevan tidak hanya tentang fungsinya saja sebagai keunikan dalam berkomunikasi tapi juga harus didampingi oleh etika dalam berkomunikasi. Tidak seluruhnya boso walikan digunakan kepada semua orang. Dalam artian, sikap sopan santun juga harus tetap dipegang teguh.

Ditambah lagi adanya perkembangan dan pembaruan dari boso walikan sendiri, tidak bisa disalah artikan sebagai gaya yang keren sehingga melupakan etika dalam berbicara. Maka, boso walikan akan sangat relevan ketika digunakan oleh para kaum milenial jika terdapat etika yang baik pula dalam menggunakannya.

Jadi selain untuk menjaga budaya lokal dan mempererat tali persaudaraan, boso walikan juga mampu membentuk karakter pada kaum milenialberupa sikap menghargai satu sama lain. Hal tersebut tidak hanya membuat boso walikan menjadi relevan melainkan juga elegan bagi penggunanya. (Awp)

Penulis: Alvien Wardhana P

Editor: Rofidah Noor

1 thought on “Relevansi Bahasa Walikan di Era Milenial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *