Membaca Sosial Budaya Masyarakat Melalui Tayangan Film Pendek

Ilustrasi Film Pendek (Gambar milik Rofidah Noor)
DIORAMALANG.COM, 7 SEPTEMBER 2020 – Di masa pandemi seperti saat ini masyarakat dibuat kesulitan untuk mengakses fasilitas umum seperti bioskop. Meskipun kini banyak layanan aplikasi penyedia film, akan tetapi tetap saja bioskop masih menjadi pilihan utama karena experience (pengalaman) yang ditimbulkan berbeda.
Namun pada babak akhir bulan Agustus lalu, Indonesia tengah diramaikan dengan sekumpulan film-film pendek yang disebar oleh pengguna akun Twitter @TarizSolis. Berkat itu Taufiqur Rizal (orang dibalik akun twitter @TarizSolis) berhasil mendapatkan ribuan like dan retweet.
Dalam utas yang dibuatnya, Taufiqur membagikan karya-karya sineas Indonesia berjumlah 45 film pendek yang punya kesan mendalam. Bukan hanya itu, netizen rupanya turut merekomendasikan serta mengomentari film-film pendek favorit mereka, dan dari sekian daftar tersebut salah satu film yang menyedot perhatian adalah film berjudul “Tilik“.
Film Tilik merupakan film pendek karya anak muda Yogyakarta yang bersatu dalam sebuah rumah produksi bernama Ravacana Films. Film ini berhasil diwujudkan berkat kerja samanya bersama Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Video berdurasi 32 menit ini menceritakan tentang sebuah kelompok ibu-ibu yang sedang tilik (bahasa Jawa dari menjenguk) Ibu Lurah yang tengah sakit di rumah sakit. Di perjalanan mereka bergosip tentang seorang kembang desa bernama Dian yang banyak didekati oleh laki-laki. Dian mendapat banyak perhatian dari warga desanya dan mendapat banyak cibiran khususnya dari kelompok ibu-ibu ini.
Dari film ini, penulis dapat dengan jelas melihat bagaimana fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia khususnya warga perkampungan. Banyak atribut-atribut khas yang digambarkan secara gamblang dan blak-blakan, yang tentunya bisa menjadi sentilan tersendiri bagi para penonton.
Utamanya adalah yang terjadi pada saat scene penjengukan berlangsung. Para pemain ditempatkan pada sebuah truk sebagai kendaraan selama menjenguk Ibu Lurah. Memang benar bahwa hal tersebut merupakan sebuah aktivitas yang salah dan bahkan penertibannya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 55, tahun 2012, pasal 5 ayat 4.
Namun karena keterbatasan biaya, keadaan yang tidak memungkinkan, dan jauh dari pusat kota, maka masyarakat kampung ini terpaksa menggunakan truk sebagai sarana pengangkut rombongan.
Dilihat dari sosial budaya yang ada di perkampungan, bepergian dalam jumlah banyak menggunakan truk memang sudah biasa terjadi. Apalagi saat itu “menjenguk” merupakan hal yang harus sekali dilakukan untuk menunjukkan rasa simpati kepada orang yang tengah sakit.
Lalu rumah sakit digambarkan amat sangat jauh dari perkampungan dan rombongan harus berangkat dari desa dengan melewati hutan, pinggiran kota, hingga sampai ke rumah sakit.
Hal tersebut membuat film Tilik seakan menampar penguasa daerah karena terbatasnya fasilitas umum yang tersedia di kampung. Tingkat kesejahteraan sosialwarga Yogyakarta juga dinilai masih rendah dibandingkan dengan kota lainnya di Indonesia, meskipun Indeks Kemiskinan mengalami peningkatan pada periode 2007-2012 lalu.
Di lain hal, ternyata awal mula peluncuran film di Indonesia adalah sebagai alat propaganda pemerintah. Dalam jurnal artikelyang ditulis oleh Heru Erwantoro, dinyatakan bahwa Pemerintah Pendudukan Jepang menyelenggarakan bioskop keliling secara masif sebagai media propaganda untuk kepentingan perangnya.
Sebagaimana Pemerintah Pendudukan Jepang, Pemerintah Orde Baru juga menggunakan metode tersebut sebagai media propaganda program pembangunan yang dicanangkan Orde Baru.
Film-film dokumenter produksi pemerintah harus diputar di bioskop keliling guna menggalang massa untuk kampanye dalam setiap Pemilu. Namun kini masyarakat memiliki kebebasan berekspresi melalui banyak media, salah satunya melalui film pendek.
Selain itu film Tilik juga menyajikan sketsa-sketsa jenaka yang mungkin terlihat remeh oleh sebagian orang, akan tetapi sangat relatable dengan apa yang terjadi di kehidupan nyata. Salah satunya adalah penggunaan karet sebagai alat penahan kencing.
Hal ini memang kerap dilakukan oleh beberapa orang yang diajarkan melalui orang yang lebih tua, hal ini kemudian menguat dalam budaya masyarakat desa meskipun metode ini sesungguhnya tidaklah efektif.
Selain Tilik, ada pula film karya sineas Indonesia lain yang sarat dengan nilai sosial budaya maskyarakat, judulnya adalah “Nunggu Teka“. Film ini mengisahkan tentang seorang ibu yang menunggu kepulangan anaknya pada lebaran. Seperti yang banyak dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, Idul Fitri digunakan sebagai momentum khusus untuk berkumpul bersama keluarga.
Namun film berdurasi 14 menit ini justru menggambarkan hal lain yang tak terduga. Diwartakan dari Liputan6.com, sang sutradara film pendek asal Malang itu, Mahesa Desaga, ingin mencoba menuangkan perasaan general seorang ibu yang terus menunggu kabar dari anak-anaknya.
Jalan ceritanya dapat dengan mudah diterka, akan tetapi sangat berkaitan dengan sosial budaya yang belakangan amat terasa di kalangan masyarakat muda. Meski begitu film ini mendapat apresiasi besar hingga mendapatkan kesempatan tampil dalam Melbourne International Film Festival (MIFF) 2017 pada 9-12 Agustus 2017, setelah memenangkan kompetisi Festival Sinema Australia Indonesia 2017 (FSAI) yang diselenggarakan Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Dari banyaknya film pendek yang berbedar, tentu akan berpengaruh pada kehidupan di masyarakat. Hal ini mungkin terjadi karena belakangan film pendek banyak digandrungi oleh khalayak umum. Durasinya yang singkat memungkinkan penonton untuk menyaksikan dalam satu kali duduk, berbeda dengan film berdurasi panjang yang mengharuskan penonton menyaksikan film selama satu hingga tiga jam.
Ditambah lagi kini film pendek sudah banyak disediakan dalam medium yang mudah di akses seperti Youtube atau layanan penyedia video lain. Bila dibandingkan dengan menonton film berdurasi panjang di bioskop, film pendek dapat membangkitkan minat penonton untuk menyaksikan berbagai konten lainnya. Tingkat ketertarikan pada film pendek juga dapat mendongkrak minat layanan penyedia.
Film pendek juga dapat berfungsi sebagai kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat mencegah penyimpangan sosial dan mengarahkan masyarakat untuk bersikap dengan norma yang berlaku. Tentunya hal ini akan berhasil apabila film dikemas seapik mungkin agar dapat memengaruhi penonton.
Seperti yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia juga turut menggunakan media ini sebagai media sosialisasi bagi masyarakat. Contohnya film pendek bertajuk “Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)” yang bertujuan untuk memberikan masyarakat penerangan tentang perilaku hidup sehat. Film-film pendek ini dapat di akses di Promkes.kemkes.go.id. (Rof)
Penulis: Rofidah Noor
Editor: Shofiyatul Izza W