Pendidikan dan Pemanfaatan Situs Cagar Budaya dalam Proses Pembelajaran Sejarah

Stasiun Lama Kota Malang yang Bangunannya Ditetapkan Menjadi Salah Satu Cagar Budaya Malang (Gambar diambil dari web Ngalam.co)
DIORAMALANG.COM, 4 JUNI 2020 – Pendidikan sejarah di Indonesia pada jenjang SD, SMP, dan SMA masih menjadi momok tersendiri bagi para pelajar. Sejarah dinilai menjadi mata pelajaran yang membosankan karena materi yang disampaikan berupa cerita-cerita di masa lampau. Lewat cerita di masa lampau pula sejarah punya fungsi edukatif yang dapat memecahkan masalah-masalah sosial yang terjadi pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Sejarah diharapkan dapat memotivasi pelajar Indonesia agar bisa menjadi generasi terdidik yang bisa bersikap bijaksana. Bijak dalam mengambil langkah ketika dihadapkan dengan situasi atau kejadian yang membutuhkan kebijakan dengan mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan kelak.
Salah-salah fungsi kontrol pendidiknya yang kurang bisa menghadapi pelajar dalam mengemukakan materi sejarah. Seperti kebanyakan tenaga pendidik lainnya yang ingin punya pelajar cerdas dan sempurna, guru sejarah akhirnya keblinger dengan capaian penghafalan nama tokoh, tahun peristiwa, dan besaran gambar kejadian sejarah. Perington, dalam The Idea of an Historical Education (1980) menuliskan, sejarah sangat didominasi oleh pengajaran hafalan.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Taufik Abdullah, “strategis pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan cronichle dan cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa” (Abdullah dalam Alfian, 2007:2). Bukan hanya itu, pelajar bahkan didorong untuk bisa mendapatkan nilai dengan standar capaian tinggi.
Apa yang bisa diharapkan dari kajian ilmu sejarah yang penyampaiannya tak lebih dari sekedar menunaikan tugasnya sebagai tukang pos yang menyampaikan materi berdasarkan indikator? Bukan sebagai tenaga pendidik profesional yang bisa mencerdaskan anak didiknya. Bukannya cerdas, pelajar bisa-bisa sudah keliyengan yang ujung-ujungnya hanya bikin isi otak hilang selepas ujian dilaksanakan.
Dalam meningkatkan efektivitas, penyampaian sebuah ilmu seharusnya disesuaikan dengan target. Apabila tergetnya orang dewasa ya dilakukan dengan metode yang disukai oleh orang-orang di usia dewasa. Dan bila targetnya adalah siswa maka ya metode penyampaiannya dilakukan dengan hal-hal yang disukai oleh orang-orang di usianya.
Siswa atau pelajar di Indonesia baik yang berada di jenjang SD, SMP hingga SMA cenderung lebih suka belajar yang dilakukan di luar kelas atau Outdoor Learning. Outdoor learning dirasa bisa menjadi metode mutakhir dalam penyampaian materi sejarah. Dalam jurnal karya Cintami dan Mukminan dijelaskan bahwa dengan metode ini kemampuan siswa akan dilibatkan secara maksimal agar mampu mengetahui dan menyelidiki secara sistematis, kritis dan logis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya di lapangan dengan rasa percaya diri.
Seperti yang tertuang dalam judul artikel kali ini, “Pendidikan Sejarah dan Pemanfaatan Situs Cagar Budaya dalam Proses Pembelajaran Sejarah”, pemanfaatan situs cagar budaya rasanya punya nilai lebih sebagai media pembelajaran sejarah dan outdoor learning. Cagar budaya dinilai berpotensi sebagai media pembelajaran yang menarik.
Selain itu dengan mengunjungi situs-situs cagar budaya yang ada di daerah dapat memunculkan rasa peduli dan cinta terhadap cagar budaya itu sendiri, karena akan memperlihatkan suatu wujud nyata tentang hasil peradaban leluhur mereka yang harus dijaga dan dilesarikan.
Mengintip informasi dalam kebudayaan.kemendikbud.go.id, situs cagar budaya bisa menjadi momentum bagaimana mencurahkan ide-ide kreatif guna membangkitkan daya tarik pelajar untuk tidak hanya memahami cagar budaya dari ruang kelas saja, namun jauh lebih luas dari itu. Lewat metode ini diharapkan dapat memicu kesan yang membekas pada tiap pelajar dan pengetahuan yang disampaikan sanggup terserap dan tersimpan dalam jangka panjang dibandingkan dengan proses belajar kognitif.
Belajar lewat situs cagar budaya juga akan mengembangkan rasa kepedulian siswa pada pelestarian benda-benda bersejarah. Karena selama ini benda bersejarah dinilai sebelah mata oleh beberapa orang. Dianggap tidak penting dan sia-sia. Padahal benda bersejarah merupakan aset penting bagi pendidikan kedepannya.
Jawa Timur khususnya Kota Malang adalah salah satu daerah di Indonesia yang menyumbangkan banyak peninggalan sejarah. Alih-alih Paris van East Java, Kota Malang sepertinya lebih cocok diberi gelar City of a Thousand History alias Kota Seribu Sejarah.
Beberapa item sejarah yang berasal dari Malang adalah Candi Badut hasil peninggalan Kerajaan Kanjuruhan, Wanua kuno yang terwariskan pada penamaan daerah di Malang hasil peninggalan Kerajaan Mataram Kuno, Candi Jago dan Candi Kidal peninggalan Kerajaan Singhasari, sampai dengan Candi Singasari yang hingga kini masih diperdebatkan apakah dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singhasari atau Majapahit.
Pada bulan Januari tahun 2019, Walikota Kota Malang menetapkan 32 bangunan bersejarah di Kota Malang sebagai cagar budaya. 32 bangunan Cagar Budaya yang ditetapkan diantaranya adalah Bangunan Balai Kota, Bangunan Bank Indonesia, Bangunan Kantor Pajak Pratama, Bangunan Gereja Immanuel, Bangunan Gereja Idjen, Bangunan Sekolah SMA 4, Bangunan Rumah Dinas Walikota, Bangunan Sekolah Corjesu, Bangunan Hotel pelangi, Bangunan Rumah ex Toko NIMEF, Bangunan Asrama Bali, dan Bangunan Gedung AIA.
Selanjutnya, Bangunan Stasiun Kota Lama, Bangunan Makam Bupati Malang, Bangunan Rumah Anjasmoro 25, Struktur Tandon Air Tlogomas, Struktur jembatan Mojopahit, Struktur Jembatan Kahuripan, Struktur Buk Gluduk, Bangunan KPPN, Bangunan Gereja Hati Kudus, Bangunan Sekolah Frateran, Bangunan Bank Mandiri Merdeka dan Bangunan Bank Commenwealth.
Laporan dari David Umar Al Faruq dalam Medcom.id, Wali Kota Malang, Sutiaji mengatakan penetapan 32 bangunan tersebut adalah sebuah bentuk keseriusan Pemkot Malang untuk menjadikan Kota Malang sebagai kota heritage. Penetapan ini juga menjadi bukti keseriusan dari masyarakat Kota Malang sendiri. Sebelumnya Kota Malang sudah banyak kehilangan bangunan heritage, bahkan tak hanya itu, pohon-pohon heritage juga banyak yang hilang. Maka dari situlah Kawasan heritage diwujudkan agar dapat dipertahankan dan tidak punah. Hal ini juga berlaku untuk bangunan-bangunan heritage lainnya di Kota Malang.
Di tempat-tempat yang ditetapkan sebagai cagar budaya ini pula dipasangi plakat-plakat yang bertuliskan sejarah dan informasi terkait cagar budaya. Dengan demikian, pengunjung yang datang dan ingin mengetahui sejarah akan dengan mudah mendapatkan informasi yang aktual.
Belum genap satu tahun, pada bulan September tahun 2019 sebuah bangunan bersejarah bernama Museum Bentoel dijual. Museum yang merupakan cikal bakal pabrik rokok Bentoel itu telah dijual oleh pemiliknya. Museum Bentoel dulunya adalah rumah pribadi pendiri Bentoel, Ong Hok Liong. Ada dua bangunan di kawasan museum. Bangunan pertama digunakan untuk pertemuan dan bangunan lainnya difungsikan untuk menyimpan koleksi museum.
Sangat disayangkan, meski tidak masuk dalam daftar 32 bangunan cagar budaya, akan tetapi Museum Bentoel telah menjadi bagian dari Kota Malang sehingga sejarah perjalanan Bentoel juga bersentuhan dengan sejarah Kota Malang.
Bagaikan tubuh, bila kehilangan satu saja anggota tubuh pasti akan terasa perbedaannya. Bukan hanya berlaku untuk Museum Bentoel saja, kita sebagai generasi muda harusnya terus memperjuangkan situs bersejarah agar tetap eksis dan lestari demi kepedulian atas sejarah untuk generasi muda berikutnya. (Rof)
Penulis: Rofidah Noor
Editor: Alvien Wardhana Poernomo