Nasib Seniman sebagai Pelestari Budaya di Era Generasi Milenial

Ilustrasi Seniman Lukis Tradisonal (Gambar diambil dari web Republika.co.id)

DIORAMALANG.COM, 5 SEPTEMBER 2020 – Generasi milenial, atau sering juga disebut sebagai generasi Y, adalah generasi yang tumbuh pada era internet booming. Sebagai bagian dari generasi ini, kita tentunya tidak asing dengan penggunaan teknologi dan internet dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi, saat ini kita berada pada era digital di mana kebanyakan alat-alat pendukung kehidupan sehari-hari sudah berbasis digital.

Para millennials (sebutan untuk generasi milenial) memiliki tipe komunikasi yang lebih terbuka dibanding generasi lain sebelumnya. Generasi ini juga identik dengan penggunaan media sosial yang berlebihan dan aktivitasnya sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi.

Selama beberapa dekade terakhir, dunia mengalami perubahan besar dan manusia menjadi lebih bergantung pada teknologi. Misalnya saja munculnya beragam jenis situs belanja online yang memudahkan kita untuk berbelanja tanpa perlu pergi ke luar rumah, teknologi virtual reality, robot untuk memudahkan pekerjaan rumah tangga, hingga aplikasi belajar online.

Pada era ini, beragam jenis pekerjaan pun mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang serba digital dan canggih. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai jenis lapangan pekerjaan baru dan hilangnya beberapa lapangan pekerjaan lain.

Saat ini, seni dan teknologi menjadi lebih terjalin satu sama lain dibandingkan sebelumnya. Baik itu karena tersedianya cara-cara baru untuk mencampur berbagai jenis media yang memungkinkan lebih banyak interaksi manusia, atau hanya sekedar membuat proses pencipataan karya seni menjadi lebih mudah. Tuntutan zaman memaksa profesi seniman untuk ikut menyesuaikan diri.

Kini, tidak banyak orang terutama generasi milenial yang peduli dengan pelestarian budaya melalui karya seni. Mayoritas generasi milenial saat ini lebih tertarik dengan konsep kebebasan, kesetaraan, modernitas dan lain-lain dibandingkan dengan melestarikan budaya. Bagi millennials, negara-negara maju dianggap lebih modern. Padahal, yang sering kali gagal mereka lihat adalah bahwa modernisasi datang dengan risiko, yaitu hilangnya bahasa daerah, ritual, dan pelestarian budaya.

Seni atau budaya tradisional dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Jika pada zaman dulu para orang tua kita senang menikmati wayang golek di lapangan desa, para millennials kini lebih senang menonton tayangan drama Asia terbaru ataupun film-film barat. Tari tradisional, pesta rakyat, dan nyanyian lagu lawas pun kini tergantikan oleh dance hip-hop dan lagu-lagu asing.

Seniman lukis konvensional pun mulai tergeser dengan kehadiran alat gambar digital yang hasilnya bisa dicetak berulang-ulang dan dipamerkan di media sosial. Jika dihadapkan pada dua pilihan, kira-kira mana yang akan millenials pilih? Hasil karya seniman lukis tradisional dengan proses yang agak lama dan harga yang relatif mahal, atau lukisan digital creator yang lebih cepat dan harga yang terjangkau?

Peran pemerintah untuk membantu seniman sekaligus melestarikan budaya pun dirasa masih kurang. Program-program pemerintah untuk membantu seniman lokal dan melestarikan budaya kurang mendapatkan hasil yang signifikan. Padahal, para pegiat seni ini membutuhkan banyak dukungan agar bisa terus eksis di zaman yang semakin modern ini.

Bahkan, seolah belum cukup penderitaan mereka, pemerintah ikut mempersulit dengan munculnya regulasi sertifikasi profesi seniman. Padahal dinyatakan dalam jurnal Hanan Fatin Utami bahwa sertifikasi profesi pada seniman masih ditemukan beberapa kelemahan. Yang pertama ialah kurangnya sosialisasi menimbulkan tingkat pemahaman dan pengertian tentang Sertifikasi Profesi di Masyarakat masih tidak merata. Sosialisasi kebijakan sertifikasi seniman telah dilakukan, namun menimbulkan berbagai polemik.

Kedua terbatasnya Instruktur yang berpengalaman dari industri dalam profesi tertentu untuk memberikan penyebaran pengetahuan dalam pelatihan berbasis kompetensi. Terakhir adanya keterbatasan biaya untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan selama sertifikasi. Bukan hanya itu, draf Rancangan Undang-Undang Permusikan juga dirasa mengekang. Draf ini dinilai akan membelenggu kreativitas musisi dan kebebasan berekspresi, alih-alih melindungi hak-hak para pemusik.

Untuk mempertahankan eksistensinya, para seniman dipaksa melakukan perubahan agar dapat memikat orang-orang untuk melirik karyanya. Namun hal ini tidak berlaku bagi para seniman senior yang mayoritas gagap akan teknologi dan untuk mereka yang tidak terlalu dikenal namanya.

Orang-orang ini pada akhirnya akan tersingkir, beralih profesi, dan kesenian tradisional pun hilang dimakan waktu. Beberapa seniman yang bertahan adalah mereka yang cukup beruntung karena karyanya telah dikenal baik dan memiliki kelompok penikmat seni tetap.

Sekilas, teknologi dan seni tampak seolah-olah berada pada sisi yang berlawanan. Banyak pegiat seni mungkin menolak menggunakan teknologi pada karya seni mereka karena takut itu akan menggantikan metode pembuatan seni tradisional. Namun, belajar untuk berdamai dengan keadaan yang baru sangatlah penting. Alih-alih melihat teknologi sebagai cara untuk menggantikan pembuatan seni tradisional, mari tanyakan pada diri sendiri, “Bagaimana saya dapat menggunakan teknologi untuk meningkatkan proses pembuatan seni?”.

Pada dasarnya, seni dan teknologi mengeksplorasi kreativitas dengan cara yang berbeda. Sebagai contoh, anda dapat menggunakan teknologi sebagai alat desain untuk melukis, alih-alih menggunakan cara konvensional. Keuntungannya, anda bisa lebih mudah memindahkan objek lukisan ataupun menghapus komponen yang salah di kanvas digital. Hal ini tentunya membantu proses pengerjaan karya seni menjadi lebih cepat dan efisien.

Disampaikan oleh Erie Setiawan, Praktisi Musik dan Direktur Lembaga Pusat Informasi Musik “Art Music Today” Yogyakarta saat mengisi kuliah umum di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang bahwa untuk bisa bersaing, Identitas dan Bekal Ilmu tidaklah cukup tanpa disertai “metode” dan “strategi” yang tepat.  Dunia seni menuntut kita untuk selalu fleksibel dalam menghadapi segala situasi.

Maka dari itu proses pelestarian budaya harus dapat beradaptasi mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan generasi millenial. Untuk seni tari misalnya, saat ini kita bisa mengunggah video ataupun melakukan siaran langsung di beberapa platform video online seperti Youtube, IGTV, Tiktok dan lain-lain. Tidak hanya dinikmati oleh publik dalam negeri, publik luar negeri pun dapat menonton kesenian dan budaya Indonesia.

Contoh lain, saat ini para pengrajin tanah liat memiliki potensi untuk berjaya kembali. Ini disebabkan generasi milenial saat ini sedang tergila-gila dengan gaya hidup minimalis. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh para pengrajin karena pada dasarnya hasil kerajinan piring, mangkuk, vas bunga dan peralatan lain dari tanah liat memiliki kesan yang minimalis dan ramah lingkungan.

Hal berikutnya yang harus dilakukan adalah menanamkan modernitas ke dalam tradisi untuk menarik minat generasi muda. Dengan semua budaya dan tradisi yang kaya, serta sejarah panjang di belakang mereka, ada begitu banyak cerita yang dapat disampaikan melalui sebuah karya seni. Jadi, jangan takut dengan zaman yang berkembang, karena perkembangan zaman dan teknologi pun diciptakan oleh manusia itu sendiri. (Rof)

Penulis: Rofidah Noor

Editor: Shofiyatul Izza W

2 thoughts on “Nasib Seniman sebagai Pelestari Budaya di Era Generasi Milenial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *