Dari Laskar Perjuangan Rakyat, Demi Bangsa yang Sekarat

Laskar Sabilillah, barisan para santri dan ulama pejuang kemerdekaan Indonesia (Gambar diambil dari web Merdeka.com)
DIORAMALANG.COM, 1 SEPTEMBER 2020 – Siap berjuang untuk bangsa, siap mati demi merdeka. Hal inilah yang dilakukan oleh para pahlawan Indonesia saat kolonial Belanda menjajah serta menyerang nusantara secara membabi buta. Kelompok-kelompok militer dikerahkan untuk membantu menangani peristiwa tersebut. Namun satuan bersenjata tak berarti banyak dalam menangkis kekejaman pemerintah Belanda.
Eksploitasi rakyat tak berkesudahan. Kerja rodi pun juga tak kunjung usai tanpa memikirkan peluh keringat serta kesempatan dalam berkehidupan yang layak. Namun tak hanya itu, seperti peribahasa “Sudah jatuh tertimpa tangga”, rakyat yang hidup secara tak adil juga diejek habis-habisan dengan sebutan inlander. Lalu berkat perlakuan Belanda yang semena-mena ini, rakyat bangkit dan bersatu mendorong mundur para penjajah.
Hingga pada 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno di Jakarta, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Meskipun begitu, nyatanya Indonesia tak benar-benar merdeka. Masih banyak pertempuran yang terjadi antara rakyat dan para penjajah. Indonesia tak berarti banyak dalam kedaulatan bangsa.
Pada akhirnya Indonesia mau tak mau harus meneruskan perjuangan ini, banyak sekali kelompok-kelompok perjuangan rakyat yang mengambil andil besar dalam kemerdekaan bangsa. Beberapa diantaranya adalah ulama dan santri pejuang kemerdekaan yang ada di Malang, yang masuk dalam kelompok Laskar Sabilillah, Laskar Hizbullah, dan Laskar Rakyat.
Menariknya adalah kelompok laskar perjuangan rakyat bernama Sabilillah, namanya kini terpatri dalam sebuah masjid yang berlokasi di sisi utara Kota Malang. Bukankah hal tersebut menyiratkan betapa besarnya arti Laskar Sabilillah ini bagi perjuangan Malang? Lalu sebenarnya siapa sih laskar-laskar ini? Bagaimana pula laskar ini muncul dan hadir dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia?
Mengutip dari jurnal Najib Jauhari yang berjudul “Nilai Kejuangan Laskar Sabilillah Malang dan Pewarisnya”, pembentukan Laskar Sabilillah secara formal didasarkan atas hasil Rapat Besar Nahdlatul Ulama’ seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 bertempat di Kantor PBNU, jalan Bubutan IV, Surabaya. Saat itu rapat diselenggarakan atas dasar besarnya hasrat umat Islam dan Ulama yang ingin mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia merdeka.
Dari peristiwa itu muncul keputusan sebagai berikut (Kedaulatan Rakyat, 26 Oktober 1945:1):
1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia, supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya.
2. Supaya melanjutkan perjuangan bersifat “Sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Kemudian pada 7-8 November 1945 terjadi kongres Masyumi yang diadakan di Yogyakarta. Peristiwa ini lah yang membentuk Sabilillah. Najib Jauhari menyebutkan dalam karya ilmiahnya berjudul “Resolusi Jihad dan Laskar Sabilillah Malang Dalam Pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945” bahwa untuk memperkuat kedudukannya secara hukum atau fiqih syar’i, resolusi jihad juga menjadi salah satu keputusan dalam Muktamar NU ke-16 di Purwokerto (29 Maret 1946).
Struktur Laskar Sabilillah berada dalam koordinasi Masyumi, dengan Panglimanya adalah K.H. Masjkur dan markas besarnya berada di Kota Malang. Pengurus Markas Sabilillah Daerah berjumlah 9 orang, membawahi pengurus Markas Sabilillah Karesidenan yang berjumlah 7 orang, dan mereka ini membawahi pengurus Markas Sabilillah Kabupaten yang berjumlah 5 orang.

KH. Masjkur, tokoh panglima Laskar Sabilillah (Gambar diambil dari web Kumparan.com)
Laskar yang berpusat di Malang ini punya tuntutan yang bisa dibilang tak main-main. Laskar Sabilillah bersama K.H Masjkur yang berasal dari Singosari mengawali situasi dan kondisi bangsa yang sudah terancam dengan keteguhan hati.
Tepat pada 10 November 1945, pertempuran Surabaya pecah. TKR dan badan perjuangan Indonesia lainnya yang berada di Jawa Timur mengikuti perang ini. Laskar Sabilillah Malang juga turut berperan serta dalam pertempuran Surabaya. Mereka memberangkatkan pasukan dengan dipimpin oleh K.H. Nawawi Thohir dan Abbas Sato dengan jumlah 168 orang yang mengajukan diri secara spontan dan kerelaan.
Golongan alim ulama yang berasal dari Laskar Sabilillah Malang diberangkatkan oleh Panglima Divisi Untung Suropati Mayor Jenderal Imam Soedja’i. Sedangkan untuk senjatanya jangan ditanya. Berbeda jauh dengan Belanda yang berbekal senjata api dan tank baja, laskar hanya berbekal senjata tradisional seperti senjata tajam, parang, bambu runcing, juga ketapel.
Remeh sekali bukan? Namun berbekal keikhlasan yang tiada tara, apapun akan dikorbankan. Modal utama perjuangan Laskar Sabilillah diketahui berasal dari semangat dan keberanian yang tinggi dan didasari atas keinginan pilihan hidup mulia atau mati syahid “Isykariman au mut syahidan”. Semangat ini seringkali disingkat menjadi semboyan ”merdeka atau mati”.
Kehebatan lain yang Laskar Sabilillah juangkan ketika pertempuran Surabaya terjadi adalah pemetaan strategi. Sabilillah bersama Laskar Hizbullah dan TKR Malang menggunakan strategi perang terbuka dengan melakukan penempatan pasukan di dekat musuh (sektor garis kedua, depan Stasiun Gubeng dan Jalan Pemuda) agar bisa langsung bertempur secara langsung. Melalui strategi ini sektor kedua dapat mempertahankan Surabaya lebih lama dibandingkan dengan perkiraan Belanda.
Perjuangan melawan koloni dengan bekal ikhlas meninggalkan harta, gelar, serta penghormatan lainnya itu kini ditukar dengan monumen perjuangan yang kenangannya tak akan pernah tergantikan. Langkah yang diambil untuk mewujudkan monumen (Masjid Sabilillah) ini rasanya sudah sangat benar mengingat besarnya jasa yang sudah dikerahkan oleh Laskar Sabilillah.
Berdasarkan penelitian yang ditulis Dimyati, mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, tujuan pembangunan monumen ini diantaranya adalah untuk memperingati pelaku sejarah atau sekelompok yang berjasa bagi kepentingan orang banyak, menghargai peristiwa sejarah, mengingatkan kepada masyarakat khususnya generasi muda, menjadi sumber dan inspirasi nilai-nilai budaya, dan jadi sumber sejarah di masa yang akan datang.
Masjid Sabilillah sebagai monumen dan bangunan umum ini jadi fasilitas sempurna yang dapat diakses oleh masyarakat muslim. Dengan adanya masjid ini diharapkan pengunjung bukan hanya datang untuk beribadah dan mengenal lebih jauh laskar perjuangan rakyat saja, namun juga mengenalnya sebagai media pendidikan non-formal keagamaan, penggerak perekonomian masyarakat, dan sarana umum yang dimotori oleh Yayasan Sabilillah Malang. (Rof)
Penulis: Rofidah Noor
Editor: Shofiyatul Izza W