Sejarah Wayang Puspa Sarira Wayang Rekaan Indonesia yang Jadi Incaran Dunia

Wayang Puspa Sarira asli Kota Malang (Gambar diambil dari web Instagram.com/wayangsuketpuspasarira)
DIORAMALANG.COM, 27 AGUSTUS 2020 – Mendong atau Fimbristylis Umbellaris merupakan jenis rerumputan atau teki-tekian yang selintas mungkin terlihat sepele. Namun jika dimanfaatkan dengan baik, akan menjadi sebuah produk yang nilainya bisa menembus angka jutaan rupiah. Di Kota Malang sendiri, ada pengembang kesenian wayang yang memanfaatkan mendong sebagai bahan dasar pada pembuatan wayangnya.
Wayang Puspa Sarira namanya, wayang ini merupakan kesenian yang dicetuskan oleh wanita asli Malang bernama Sulaihah. Berawal dari kegiatan Pekan Kekerabatan Nasional tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Tim Kerja Pramuka (TKK) dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) di Coban Rondo Malang, dengan peserta kurang lebih 3000 siswa SMP dan SMA dari berbagai penjuru nusantara, Sulaihah atau yang kerap disapa sebagai Mbak Suli ini diamanahkan untuk menjadi instruktur acara.
Sulaihah diminta untuk memberikan materi mengenai kreasi seni berbahan alami. Kemudian ia teringat dengan kenangan masa kecilnya tentang cara pembuatan boneka menggunakan jerami atau pelepah daun singkong. Ia kemudian mengajarkan hal tersebut pada peserta Jambore.
Namun sayang sekali, jerami yang seharusnya menjadi bahan baku sedang tidak panen. Lalu apabila menggunakan pelepah daun singkong, ia khawatir jika daun yang harus dipotong tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sebanyak 3000 peserta.
Tak butuh waktu lama, melalui tangan piawainya rumput mendong yang biasanya dibuat menjadi tikar diubah menjadi wayang yang menawan. Hal ini ia lakukan setelah teringat akan pemanfaatan rumput mendong di Kota Ponorogo guna menambah nilai ekonomi dari tikar. Kemudian melalui beberapa risetnya, ternyata rumput mendong ini sudah dibudidayakan di Kabupaten Malang, tepatnya di daerah Wajak.

Mbah Djo, pengembang Wayang Puspa Sarira (Gambar diambil dari web Instagram.com/wayangsuketpuspasarira)
Kini Wayang Puspa Sarira dikembangkan oleh Syamsul Bakri atau yang sehari-harinya akrab dipanggil sebagai Mbah Kardjo atau Mbah Djo. Menilik informasi dari Jatimtimes.com, Kardjo mengawali pembuatan wayang ini di tahun 2012 sebagai hobi dan berkat support Sulaihah yang tak bisa mendalang karena statusnya yang perempuan. Kemudian untuk penjualan komersilnya baru dilakukan pada tahun 2014.
Menariknya, ketika diwartakan dalam Malangtimes.com, Kardjo pernah memberi wayang buatannya secara langsung kepada Presiden RI, Joko Widodo. Tak hanya itu, wayang buatannya juga sudah banyak dibawa turis asing mancanegara sebagai oleh-oleh dari Kota Malang. “Turis mancanegara banyak yang bawa pulang, biasanya sepasang, karakter laki – laki dan perempuan,” tegasnya.

Kardjo memberikan wayangnya yang bernama Singo Manggolo Jalmowono kepada Joko Widodo ketika berada di Universitas Islam Malang (Gambar diambil dari web Jokoway.com)
Meskipun mendong masih dalam satu genus atau hierarki yang sama dengan rumput, akan tetapi keduanya tetap berbeda. Mendong punya kriteria unik dengan batangnya yang berongga dan lebih tahan lama dibanding dengan jerami dan rumput lain.
Oleh karena itu Sulaihah menegaskan bahwa wayangnya bukan Wayang Suket (rumput), melainkan Wayang Mendong dan bernama Wayang Puspa Sarira. Hitungan dan kirata bahasa Jawa di setiap anatomi yang terkandung dalam boneka wayang menjadi filosofi Wayang Puspa Sarira.
“Wayang saya bukan menggunakan suket tapi menggunakan bahan mendong. Dan namanya bukan Wayang Suket tapi Wayang Puspa Sarira (Puspa artinya Bunga, Sarira artinya Boneka) boneka yang terbuat dari bunga. Mendong sendiri memang mempunyai bunga. Bunga ini saya jadikan mahkota wayang,” jelasnya pada Dioramalang.com.
Wayang sendiri merupakan budaya yang telah diakui UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity (Karya-karya Agung Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia). Dalam jurnal mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra UNY, Nurgiyantoro, wayang adalah sebuah mahakarya yang jadi salah satu karya agung dunia karena karya seni ini mengandung berbagai nilai, mulai dari falsafah hidup, etika, spiritualitas, musik, hingga estetika bentuk seni rupa yang amat kompleks.
Sedang pada Jurnal Sejarah Peradaban Islam oleh Bayu Anggoro, dijelaskan bahwa wayang merupakan sebuah warisan budaya nenek moyang yang diperkirakan telah ada sejak kurang lebih 1500 tahun SM. Wayang sebagai salah satu jenis pertunjukan sering diartikan sebagai bayangan yang tidak jelas atau samar-samar, bergerak kesana kemari. Bayangan yang samar tersebut diartikan sebagai gambaran perwatakan manusia.

Pementasan Wayang Puspa Sarira (Gambar: Dokumentasi Wayang Puspa Sarira)
Inilah yang ditekankan pada Wayang Puspa Sarira, bayang-bayang diyakini sebagai esensi utama pada pagelaran wayang. Ada tiga hal yang wajib dipenuhi kala menyajikan pementasan wayang. Pertama harus ada sinar atau cahaya. Kedua harus ada benda yang tertimpa sinar. Terakhir harus ada pakeliran (tabir) yang menghalang sinar sehingga tercipta bayangan.
Dari segi cerita, Wayang Puspa Sarira juga punya perbedaan. Jika cerita wayang biasanya mengambil kisah petualang dan kepahlawanan nenek moyang yang diperkirakan sudah terjadi pada zaman Neolithikum, atau kurang lebih tahun 1500 SM, Wayang Puspa Sarira malah menceritakan tentang Indonesia secara luas.
“Kami tidak mainstream dengan Wayang Purwa, karena Wayang Purwa berkisah tentang Ramayana dan Mahabarata yang mempunyai Pakem. Dongeng kami seputaran Indonesia mengenai legenda atau lingkungan dan lain-lain, yang jelas berkisah tentang Indonesia,” ungkap Sulaihah.
Pengembangan wayang ini memang ditujukan untuk edukasi dan motivasi. Sulaihah juga mengaku jika tak ada hambatan yang berarti dalam pengembangan Wayang Puspa Sarira. Ia paham bahwa segala sesuatu adalah sebuah proses. Ada kalanya tidak diterima oleh masyarakat atau ada kalanya diterima masyarakat, hal tersebut dianggap wajar dalam sebuah kehidupan. Namun banyak orang yang menanggapi Wayang Mendong ini dengan support yang besar, Wayang Mendong dinilai natural dan lekat kaitannya dengan Indonesia.
Untuk kamu yang ingin mengenal lebih jauh tentang Wayang Puspa Sarira, dapat datang langsung ke tempat pengembangannya yang berlokasi di Jalan Mt. Haryono, Gang Brawijaya 1, No. 63 A, Kelurahan Ketawanggede, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
Wayang Mendong ini juga dijual sebagai souvenir, harganya beragam mulai dari Rp 75 ribu hingga Rp 1 juta. Harga disesuaikan berdasarkan pemasangan frame atau figura, serta lama pengerjaan. Pemesanan secara online juga dapat dilakukan melalui kontak yang tersedia pada Instagram Wayang Puspa Sarira. (Rof)
Penulis: Rofidah Noor
Editor:
Shofiyatul Izza W