Kisah Ki Ageng Gribig “Sing Babad Alas Malang”

Pintu Masuk Makam Ki Ageng Gribig (Gambar diambil dari web Merdeka.com)
DIORAMALANG.COM, 22 AGUSTUS 220 – Halo Ker, apa yang terlintas di pikiranmu bila mendengar nama Ki Ageng Gribig? Untuk warga Malang, mungkin nama ini sudah tidak asing lagi karena pemilik nama ini, adalah seorang tokoh penting dari terciptanya Kota Malang tercinta. Namun siapakah dia?
Menilik informasi dari Cagarbudaya.kemdikbud.go.id, bagi masyarakat Malang, Ki Ageng Gribig dipercaya sebagai adik dari Sunan Giri salah satu Wali Songo yang makamnya kini berada di Kota Gresik. Namun ada pula sumber lain yang mengatakan, bahwa Ki Ageng Gribig merupakan cicit dari Raja Majapahit yakni Brawijaya.
Ayahnya diceritakan bernama Pangeran Kedawung, salah seorang keturunan Lembu Nitro pemilik Penambahan Bromo. Ki Ageng Gribig dikenal sebagai seorang ulama yang cukup tersohor di Malang khususnya pada tahun 1600-an. Bahkan dikatakan juga sebagai salah satu murid kesayangan dari Sunan Kalijaga.
Tidak banyak yang mengetahui dimana saja tempat Ki Ageng Gribig menuntut ilmu agama. Namun, menurut kabar yang beredar Ki Ageng Gribig pernah berguru di Kerajaan Mataram Islam, yang juga dipercaya sebagai tempat pertama Ki Ageng Gribig dalam menimba ilmu.
Setelah dirasa cukup menimba ilmu, Ki Ageng Gribig akhirnya diperintahkan untuk melanjutkan tholabul ‘ilmi (menuntut ilmu) nya kepada Sunan Gunung Jati. Tak lama menuntut ilmu bersama Sunan Gunung Jati, Ki Ageng Gribig langsung melanjutkannya ke Sunan Kalijaga.
Menurut laporan Merdeka.com, Ki Ageng Gribig dipercaya sebagai seorang pendiri atau cikal bakal adanya Kota Malang. Konon, adik Sunan Giri ini dulu sangat suka berkelana ke tempat-tempat yang sangat jauh hanya untuk menimba ilmu dan memperkuat iman. Pada suatu ketika, sampailah Ki Ageng Gribig di sebuah tempat ditengah hutan yang sangat lebat. Karena merasa cocok dengan tempat tersebut, Ki Ageng Gribig akhirnya membabatnya dan menjadikan tempat itu sebagai sebuah pemukiman.
Sejak saat itulah tempat tersebut akhirnya dihuni orang dan dikenal dengan nama ‘Malang’. Nama ‘Malang’ sendiri diberikan oleh Ki Ageng Gribig berdasarkan kenyataan adanya Gunung Buring dan deretan pegunungan yang melintang di kiri dan kanannya.
Namun, menurut Yuni Pratiwi Roekhan dalam penelitiannya, berdasarkan informasi yang didapatkan dari anak juru kunci Makam Ki Ageng Gribig, keberadaan kedua pintu Komplek Makam Ki Ageng Gribig ternyata berkaitan dengan adanya versi cerita mengenai bagaimana asal usul Ki Ageng Gribig bisa sampai di Kota Malang. Dalam penelitian ini ternyata diketahui bahwa terdapat dua versi cerita.
Versi pertama yaitu dari adanya program Mataramisasi dan versi kedua karena adanya program ekspansi Blambangan Kulon. Walaupun menurut Yuni tidak didapatkan data secara tertulis atau dokumen utuh, namun kedua versi cerita ini masih dipegang kebenarannya oleh pemilik cerita yaitu bapak Devi.
Selain itu kedua versi cerita yang ada juga diperkuat dengan urutan tahun, yakni pada tahun 1625 ketika Hanyokro Kusuma menjadi rajanya sehingga dengan demikian kedua versi ini masih dapat dipertanggungjawabkan. Menurut program Mataramisasi atau ekspansi Mataram untuk perluasan daerah kekuasaan, Ki Ageng Gribig adalah seorang utusan dari kerajaan Mataram untuk memperluas wilayah kekuasaan dengan dalih menyebar agama Islam.
Seperti yang diketahui secara mendasar, semua pemimpin Kerajaan Mataram mulai dari Penewu sampai ratu berfungsi sebagai orang yang dituakan, atau sebagai panutan bagi masyarakat. Semua pejabat kerajaan diwajibkan memiliki pemahaman yang luas mengenai agama Islam, sehingga dengan sendirinya semua pejabat Mataram mengemban tugas sebagai ulama atau dikenal sebagai sayidin panotoagomo.
Begitu juga dengan Ki Ageng Gribig jika dilihat sesuai dengan versi program Mataramisasi ini, Ki Ageng Gribig adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam yang ada di wilayah Jawa Timur, khususnya daerah Malang.
Sedangkan menurut versi kedua bahwa Ki Ageng Gribig adalah utusan dari Blambangan Kulon yang pada saat itu dipimpin oleh Aryo Menak Koncar. Tujuan Ki Ageng Gribig ke Kota Malang juga tidak jauh berbeda dengan versi cerita pertama.
Konon, Ki Ageng Gribig ini adalah utusan dari Blambangan Kulon untuk mengadakan ekspansi Blambangan atau perluasan daerah kekuasaan kerajaan Blambangan. Jika dilihat menurut tahun, Blambangan Kulon ini muncul setelah masa jayanya Ratu Triguana Tunggal Dewi, Ratu dari kerajaan Majapahit.
Tapi tidak hanya itu Ker, dalam Jurnal Kawruh milik Darmoko, kisah Ki Ageng Gribig ternyata tidak hanya ada dikalangan masyarakat Malang saja. Tapi bagi masyarakat Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, sosok Ki Ageng Gribig ternyata juga dikenal sebagai sosok yang sama berpengaruhnya. Karena masyarakat Jatinom percaya, upacara Yaqowiyyu (ritual penyebaran kue apem) yang memperkenalkan pertama kali adalah Ki Ageng Gribig. Dimana pada saat itu, ketika Ki Ageng Gribig pulang dari ibadah Haji di Makkah. Ki Ageng Gribig membawa sebuah apem untuk dibagikan kepada istri, anak, dan cucunya.
Namun karena jumlah kuenya kurang, sang istri akhirnya disuruh untuk membuat tambahan kue apem tersebut. Setelah selesai, kue pun akhirnya dibagikan kepada anak dan cucunya dengan berkata: “Yaqowiyyu, Yaqowiyyu” yang berarti “Tuhan berilah kekuatan”.
Setelah kejadian tersebut, akhirnya Ki Ageng Gribig memerintahkan kepada para pengikutnya, agar setiap bulan Safar mau merelakan sebagian hartanya untuk membuat kue apem dan membagi-bagikannya kepada khalayak ramai.
Meski tidak ada bukti kuat mengenai keberadaannya, namun kisah semasa hidupnya benar-benar sangat melegenda. Sehingga tidak heran, bila makamnya yang berada di jalan Ki Ageng Gribig gang II, kelurahan Madyopuro, kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, tidak pernah sepi dari pendatang. (Syz)
Penulis: Syaifudin Zuhri
Editor: Shofiyatul Izza W
pengetahuan baru buat saya, keren
Hai kak terima kasih atas feedbacknya, janga lupa untuk share juga ya supaya infonya semakin meluas 🙂