Upacara Karo Di Desa Ngadas, Punya Cerita Berbeda Namun Bermakna Sama

Proses Pembacaan Doa Dalam Ritual Karo (Gambar diambil dari web Arsitek.in)

DIORAMALANG.COM, 13 AGUSTUS 2020 – Desa Ngadas merupakan salah satu desa yang dihuni oleh masyarakat Suku Tengger, Desa Ngadas yang terletak di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Kehidupan masyarakat Desa Ngadas masih menganut kebudayaan dan tradisi yang diturunkan dari Suku Tengger. Termasuk juga berbagai ritual dan kepercayaan yang ada di Suku Tengger, salah satunya adalah upacara Karo.

Dalam Jurnal Of Forest Science Avicennia milik Fahrizal Gifari dkk, Upacara Karo merupakan perayaan besar yang dilakukan oleh masyarakat suku Tengger di Desa tempat mereka tinggal. Kata Karo memiliki arti yaitu dua atau keduanya, Upacara Karo biasanya dilaksanakan pada bulan Karo (bulan kedua dalam kalender suku Tengger). Upacara ini biasa diselenggarakan setiap tahun, dengan maksud sebagai wujud syukur atas berkah yang diberikan oleh Tuan yang maha Esa.

Dalam proses upacara Karo, biasanya akan dikaitkan dengan sebuah cerita rakyat yang ada di kalangan suku Tengger. Sehingga, upacara Karo diselenggarakan oleh suku Tengger. Meski memiliki ritual dan tradisi yang sama, namun terkadang memiliki tujuan yang berbeda-beda.

Berdasarkan laporan dari Ngalam.co, menurut suku Tengger yang ada di Probolinggo, upacara Karo dilaksanakan untuk memperingati Sang Hyang Widhi Wasa yang telah menciptakan dua jenis manusia, yaitu laki-laki dan juga perempuan. Dimana menurut cerita masyarakat Tengger di Probolinggo, konon dahulu keduanya saling berperang.

Akan tetapi, dari pertempuran tersebut tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Dikarenakan selama pertempuran banyak korban berjatuhan, akhirnya keduanya sepakat untuk berdamai. Dari peristiwa perdamaian antara wong loro atau Karo (dua orang) inilah akhirnya dilakukan upacara Karo, demi mengenai dan menghormati peristiwa tersebut.

Sedangkan menurut suku Tengger di Desa Ngadas, upacara Karo berasal dari sebuah legenda yang berkisah tentang abdi dari kanjeng Nabi yang bernama Setya dan Abdi dari Aji Saka yang bernama Setuhu. Keduanya diceritakan sempat berselisih, namun tidak ada yang menang karena keduanya sama-sama gugur. Sehingga upacara Karo akhirnya digelar sebagai peringatan agar terhindar dari musibah karena adanya salah paham.

Hal tersebut juga termuat dalam Kompasiana.com, dimana perselisihan antara Setya dan Setuhu ternyata dipicu karena sebuah benda pusaka milik Ajisaka. Dimana kesalahpahaman dimulai ketika Setya yang dititipkan sebuah pusaka oleh Ajisaka tidak mau menyerahkan pusakanya kepada tuhu selaku orang yang telah mendapat mandat untuk mengambil pusaka milik Ajisaka yang telah dititipkan kepada Setya.

Dikarenakan Setya tidak mempercayai Setuhu sebagai utusan Ajisaka, sehingga Satya tetap bersikeras untuk tidak menyerahkan pusaka Ajisaka kepada Setuhu. Karena hal inilah akhirnya mereka berdua saling berkelahi dan sama-sama tersungkur atas kesetiaan.

Kemudian, hasil dari materi Seminar Nasional milik Hammam Rofiqi Agustapraja dkk, memaparkan bahwa Upacara Karo di Desa Ngadas dilaksanakan selama 15 hari secara berturut-turut, penyelenggaraan upacara Karo biasanya dimulai pada tanggal 7 hingga tanggal 22 bulan Karo (bulan kedua dalam kalender suku Tengger).

Upacara Karo pada hari pertama sampai hari ke tujuh bulan Karo, dibuka dengan ritual Pingpitu (ketujuh) yang bertujuan untuk mengundang arwah leluhur. Selama ritual ini berlangsung, warga Tengger biasanya menyiapkan sesaji selama tujuh hari di rumahnya.

Berikutnya, tanggal 11 bulan Karo, dilanjutkan dengan sebuah upacara Prepekan yang bertujuan untuk Ngaturi atau memberitahukan kepada Danyang (roh pelindung desa) untuk menghormati sumber air dan keramat desa seperti Punden Mbah Sentik.

Tanggal 12 bulan Karo, dilaksanakan upacara Kauman atau tradisi makan bersama dengan seluruh warga desa. Acara ini biasanya dilakukan di rumah kepala desa hingga malam tiba, lalu dilanjutkan dengan menikmati hiburan kesenian tayub (tarian tradisional untuk menjalin hubungan sosial masyarakat).

Tanggal 13 bulan Karo, berlangsung upacara ritual Tumpeng Gedhe yang bertujuan untuk mengembalikan arwah leluhur yang telah diundang. Upacara ini diikuti dengan tradisi Sesanti dan Ngrowan, yakni silaturahmi ke kerabat dan tetangga selayaknya umat muslim merayakan Idul Fitri.

Tanggal 20 bulan Karo, pada malam harinya dilaksanakan ritual Pingpitu kedua dan keesokan harinya dilaksananan Sedekah Pangonan atau Sadranan. Dimana setiap orang wajib makan di rumah orang yang dikunjungi atau di rumah orang yang mengundangnya.

Upacara karo di Desa Ngadas, Kabupaten Malang, biasanya ditutup dengan tradisi ojung. Tradisi ini biasanya hanya diikuti oleh laki-laki dewasa dan diselenggarakan di halaman rumah Kepala Desa Ngadas.

Menurut Sofi Nur Islama dalam penelitiannya mengenai tradisi ojung, tradisi ojung adalah tradisi saling memukul badan menggunakan rotan. Tradisi ini biasanya dimainkan oleh dua orang, dimana kedua peserta nantinya akan saling bergantian memukul tubuh lawannya dengan menggunakan sebuah rotan. Masyarakat suku Tengger percaya, dengan diadakannya tradisi ojung nantinya dapat mempererat hubungan kekeluargaan dan juga tali silaturahmi antar warga desa.

Meski upacara Karo yang ada di Desa Ngadas memiliki cerita atau kisah yang berbeda, namun ritual dan makna yang terkandung dalam upacara Karo ini sebenarnya sama dengan suku Tengger lainya.

Selain itu, banyak hal yang bisa dipelajari dari upacara Karo ini. Diantaranya seperti betapa pentingnya untuk selalu bersyukur kepada yang Maha Kuasa, serta betapa pentingnya untuk selalu menjaga kerukunan sesama warga desa. (Syz)

Penulis: Syaifudin Zuhri

Editor: Shofiyatul Izza Wahyuni

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.