Fenomena ‘Ganda Uang’ dan ‘Tindak Tanduk’ di Pesarean Gunung Kawi

Patung Eyang Djoego (kanan) dari peziarah yang dibuat seperti yang dimimpikan (Gambar diambil dari web Jatimplus.com)
DIORAMALANG.COM, 8 AGUSTUS 2020 – “Manusia memang nggak ada puasnya”, kalimat tersebut mungkin akan keluar dari mulut setiap orang kala mendengar kata pesugihan. Praktik pesugihan kerap kali dilakukan untuk menambah kekayaan seseorang. Tak jarang para pelaku praktik ini berani menggadaikan apa yang dimilikinya demi keuntungan yang berlipat ganda.
Di Jawa Timur sendiri banyak tempat yang terkenal sebagai ‘pegadaian’ harta. Beberapa diantaranya adalah Alas Purwo di Banyuwangi, Makam Roro Kembang Sore dan Makam Ngujang di Tulungagung, juga Pesarean Gunung Kawi di Kabupaten Malang.
Lantas bagaimana praktik pesugihan sebenarnya di Indonesia? Khususnya yang terjadi di Pesarean Gunung Kawi, Kabupaten Malang.

Ilustrasi Pesugihan (Gambar diambil dari web collectie.wereldculturen.nl)
Secara bahasa, pesugihan diambil dari kata ‘Sugih’ yang dalam KBBI bermakna ‘kaya’ dan atau ‘berada’. Pesugihan merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan kekayaan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan secara instan.
Berapa kali diulas pun, topik tentang pesugihan tetap sedap diperbincangkan. Dalam beberapa cerita, orang rela melepaskan kehidupannya sesaat untuk mengabdikan dirinya pada sang pemberi rezeki.
Banyak orang yang memilih menggunakan jiwanya sebagai alat tukar kekayaan dunia. Di lain tempat, pesugihan harus dilakukan dengan memelihara tuyul, memelihara kera, menjadi babi ngepet, atau melakukan hubungan seksual di tempat yang dikeramatkan.
Bahkan ada pula yang rela melepaskan anaknya hanya untuk menjadi tumbal dengan imbalan harta yang berlimpah. Namun dengan syarat, anak yang akan ditumbalkan harus dalam keadaan sehat, pintar, dan tidak cacat sedikit pun.
Usut punya usut, konsep pesugihan ternyata sudah muncul sejak abad akhir 19 dan awal abad 20. Berdasarkan informasi dari Detik.com, Prof. Dr. Wasino, M.Hum, Guru Besar Sejarah Unnes, menyatakan bahwa pesugihan merupakan gejala baru.
Pada abad 15 dan 17 orang kaya di Nusantara ini tidak masalah seperti di Kudus, Pati, dan di Lasem. Karena di wilayah tersebut ada kapitalisme global yang muncul pada abad ke 17, yakni ditandai oleh munculnya VOC. Kongsi dagang Belanda itu menguasai wilayah Indonesia dan kemudian menerapkan sistem monopoli, dampaknya adalah pribumi tersingkirkan dan menjadi kelas buruh.
Saat itu struktur sosial di Jawa dibagi jadi dua, priayi (orang kaya dan pedagang) serta wong cilik (buruh). Namun karena adanya monopoli Belanda tadi, kedua struktur ini tak lagi ada. Perlahan orang Jawa tak lagi berbisnis dan bagian ekonominya terbagi antara Ekonomi Barat (berorientasi pada pasar) dan Ekonomi Tradisional (memenuhi kebutuhan diri sendiri).
Dampaknya terjadi monetisasi uang dan secara tiba-tiba, pelaku bisnis dalam urban ini menjadi orang kaya. Seperti pemilik andong, penjual makanan, hingga penjual kain. Fenomena tersebut kemudian mengagetkan priayi di pedesaan.
Akhirnya banyak yang menaruh curiga kalau bisnis dilakukan dengan pesugihan. “Apa benar kemudian mereka kaya karena gundul (atau) tuyul? Sebenarnya tidak. Nah, tapi dikembangkan kalau dia (orang kecil) kaya dia memelihara pesugihan seperti buto ijo. Sampai sekarang seperti itu terus. Waktu itu orang kaya diuntungkan dengan sistem kapitalisme yang berkembang,” jelas Prof. Wasino.
Sementara itu, pesugihan yang saat ini banyak ditemukan adalah pesugihan yang dilakukan para peziarah di Jawa pada makam tokoh khusus. Para peziarah ini datang ke pusara figur pilihannya dengan melakukan segelintir ritual dengan harapan doanya dapat diridai.
Hal ini senada dengan pernyataan dalam makalah Mashuri, bahwa ritual pesugihan di Jawa selalu bersandar pada sosok-sosok legenda, bahkan tokoh historis.
Anehnya, di antara tokoh itu ada yang sama sekali tidak berhubungan dengan pesugihan. Beberapa di antaranya dipersepsi sebagai orang suci, bahkan wali (Roibin, 2008). Adapun cara mendapatkan pesugihan adalah cara melakukannya dengan ziarah kubur ke makam-makam tokoh tersebut pada hari tertentu dengan cara tertentu.

Vihara Dewi Kwan Im, bangunan yang digunakan oleh kelompok Tridharma (Gambar diambil dari web Malangstrudel.com)
Di Kabupaten Malang, tepatnya di Gunung Kawi ada tempat tersohor yang konon sering dimanfaatkan sebagai sarana kegiatan ‘cari uang’. Namanya adalah Pesarean Gunung Kawi. Pengunjungnya tersebar luas dari berbagai daerah di Indonesia, tak jarang bahkan yang datang dari luar negeri seperti Malaysia, Myanmar, dan Singapura.
Di lokasi ini, peziarah datang ke makam Eyang Djoego dan Raden Mas Iman Soedjono (Eyang Sujo) yang di keramatkan. Mereka adalah pejuang Laskar Pangeran Diponegoro yang sedang bersembunyi dari kejaran Belanda. Keduanya kemudian wafat dan dimakamkan dalam satu liang lahat.
Beberapa ritual kerap dilaksanakan oleh masyarakat Gunung kawi diantaranya adalah ritual malam Senin Pahing dan ritual malam Jumat Legi untuk ngalap berkah, serta ritual satu Suro.
Menilik dari jurnal karya Rahmaniah, setelah Eyang Djoego meninggal tahun 1871 dan Eyang Sujo tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun para keturunan, pengikut, serta para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan peringatan.
Peringatan dilakukan setiap malam Jumat Legi, malam meninggalnya Eyang Djoego dan juga peringatan wafatnya Eyang Sujo setiap tanggal 1 bulan Suro (Muharram). Upacara ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.
Tidak ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya membawa bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para peziarah yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin banyak berkah yang akan didapat.
Kabar dari Vice.com, menjelaskan bahwa tak jarang peziarah datang berkala di pesarean ini. Seperti yang terjadi pada ‘nasabah’ bernama Tan. Peziarah asal Jember itu mengaku kerap datang saban tahun, ia dan keluarga mengusahakan hadir sebanyak empat hingga lima kali. “Dulu usaha kami sempat ngepot-ngepot. Karena keluarga banyak yang ke Kawi, kami pun akhirnya juga datang ke sini. Eh, ternyata manjur. Usaha kami yang hampir bangkrut perlahan mulai naik,” ujar Tan.
Baginya, ritual mendatangi Gunung Kawi sama halnya seperti ibadah biasa. Ia menolak bila persembahan tumpeng yang dibawa keluarganya disebut sesajen. Baginya, itu sekadar simbol penghormatan untuk leluhur yang melancarkan bisnis.
Ada pula peziarah lain bernama Bao-Yu. Setelah mengalami kebangkrutan pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, ia rajin datang ke petilasan dan mengklaim bahwa ritual yang kerap ia lakukan berhasil menyelamatkan nasibnya dari jurang kebangkrutan.
Serangkaian ritual ia jalankan, mulai dari mandi air kembang, berziarah ke makam, dan sembahyang di Kelenteng. “Saya tidak pakai tumbal apa-apa, lo. Ini cuma berdoa saja. Mungkin motivasi dari berdoa itu yang kemudian membuka jalan sukses,” ujarnya.
Selain itu ada pula tempat yang jadi spot favorit pengunjung yang dipercaya dapat membawa keberuntungan, yakni pohon Dewandaru. Letaknya ada di pekarangan makam Eyang Djoego. Konon siapapun yang berdiri di bawah pohon ini dan kejatuhan daun atau buahnya, akan mendapatkan keberkahan. Namun harus ekstra sabar di sini, karena jatuhnya daun dan buah Dewandaru tak dapat diprediksi kapan terjadi.
Intinya, fenomena pesugihan di Pesarean Gunung Kawi yang banyak dilakukan adalah dengan melakukan ritual doa. Peziarah berdoa dan memanfaatkan makam Eyang Djoego dan Eyang Sujo sebagai ‘perantara’ doanya, karena keduanya dianggap sebagai orang yang saleh.
Diantaranya adalah ritual Selamatan dan Nadzar. Ini dilakukan dengan membeli sesaji yang pilihannya sudah disematkan di loket pendaftaran.
Harga yang dibanderol untuk Selamatan pun bervariasi, mulai dari Sayur Tumpeng seharga Rp 45 ribu hingga Kambing Tumpeng Ekoran seharga Rp 1.520 ribu. Sedangkan untuk Nadzar, harga yang dibanderol mulai dari Rp 130 ribu untuk 1 Blek Minyak Solar hingga Rp 15 juta untuk satu ekor sapi.
Kedua adalah etika yang harus dipenuhi saat masuk ke area makam. Untuk masuk ke makam keramat, para peziarah bersikap seperti hendak menghadap raja. Mereka diharuskan berjalan dengan lutut bersimpuh pada lantai. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan betapa terhormatnya Eyang Djoego dan Eyang Sujo.

Ilustrasi Ciamsi (Gambar diambil dari web Tridharma.or.id)
Ketiga adalah fenomena peziarah pesarean yang didominasi orang berketurunan Tionghoa serta arsitektur bangunan yang bercorak budaya Jawa dan budaya Tionghoa. Penjelasan dari Malangtimes.com, penggabungan dua budaya itu berawal dari kisah penyebaran Islam oleh Mbah Djoego dan Eyang Sujo. Keduanya, mempunyai santri yang taat dan patuh bernama kiai Tamyam, yang berketurunan Tionghoa.
Sejak Tamyam menjadi santri kedua sesepuh Gunung Kawi itu, terjadi akulturasi budaya. “Banyak pengunjung, baik keturunan Tionghoa atau Jawa datang kesini. Baik umat Islam atau Kong Hu Cu. Mereka dapat menikmati wisata di sini. Kami menerima semua perbedaan itu. Untungnya, selama ini tidak ada masalah antara dua golongan tersebut,” kata Ponimi, sesepuh di Gunung Kawi.
Akulturasi dua budaya ini kemudian menghasilkan Vihara Dewi Kwan Im atau Klenteng Kwan Im yang jadi tempat peribadatan kelompok Tridharma (Buddha, Kong Hu Cu, dan Tao). Selain itu ada pula Kuil Ciamsi yang merupakan tempat meramal nasib.
Meskipun kental dengan budaya kelompok Tridharma, namun semua pengunjung dari berbagai etnis dan kepercayaan dapat mengakses tempat ini untuk melakukan ritual sesuai dengan tata cara kelompok Tridharma.
Bagi kamu yang ingin berkunjung bisa langsung datang ke Pesarean Gunung Kawi. Pesarean buka setiap hari dengan pembagian waktu pada Pagi pukul 07.30-10.30, Siang 13.30-16.00, dan Malam 19.30-21.30. Khusus untuk hari Minggu dan hari besar, pesarean buka mulai Pagi pukul 07.30-15.30 dan Malam 19.30-22.00. (Rof)
Penulis: Rofidah Noor
Editor: Shofiyatul Izza W