Masjid Bungkuk, Saksi Masuknya Perkembangan Islam di Malang

Potret Masjid Bungkuk Lama (Gambar diambil dari blog Pondokbungkuk)

DIORAMALANG.COM, 1 AGUSTUS 2020 – Kota Malang terkenal sebagai wilayah yang memiliki  berbagai tempat peninggalan sejarah yang cukup beragam, dari zaman penjajahan sampai jejak penyebaran agama Islam semuanya ada. Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya peninggalan bangunan yang masih tersisa dan terjaga sampai saat ini.

Salah satu peninggalan sejarah penyebaran Islam yang perlu kamu ketahui yaitu, Masjid. Tempat peribadatan umat muslim yang umurnya sudah tua, nilai sejarahnya sangat kuat, dan mempunyai kisah masing-masing ini banyak ditemukan di Malang. Diantaranya ada Masjid Agung Jami’, Masjid Tiban, dan masih banyak lagi.

Namun kali ini kami akan membahas tentang Masjid At-Thohiriyyah atau lebih dikenal dengan Masjid Bungkuk, sebuah masjid yang terletak di  Jalan Bungkuk, Kelurahan Pagetan, Kecamatan Singosari, Kota Malang.

Masjid ini menjadi saksi awal mula masuknya agama Islam di daerah tersebut, masjid ini juga tergolong sebagai bangunan masjid kuno karena tempat peribadatan tersebut sudah dibangun sejak abad 18, yaitu pada saat masa penjajahan Belanda. Untuk lebih lanjutnya simak terus ulasan berikut ini ya Ker!

Masjid yang dikenal memiliki nama Bungkuk ini memiliki bangunan yang cukup megah. Selain itu kini Masjid Bungkuk juga dikenal oleh masyarakat di penjuru tanah air sebagai salah satu masjid tertua di Malang.

Selain menyimpan banyak kisah perjuangan para penyebar agama Islam, masjid yang juga tidak jauh dari kompleks Candi Singosari itu memiliki bangunan yang cukup menarik. Konon katanya, pada Masjid Bungkuk diyakini terdapat sebuah lubang yang dipakai oleh Kyai Thohir, menantu Kiai Hammimuddin, untuk melihat Ka’bah di Mekah.

Pada awalnya, bangunan ini hanya dibangun menjadi langgar atau musala kecil, dan pernah mengalami perbaikan sekaligus pembaruan sebanyak 3 kali. Sampai pada akhirnya dapat menjadi sebuah Masjid yang besar seperti saat ini.

Suasana di Dalam Masjid Bungkuk dan Empat Tiang yang Berdiri Kokoh Dari Dulu Hingga Sekarang (Gambar diambil dari web Malangtimes.com)

Informasi yang dimuat dalam Kompasiana.com, menjelaskan jika cikal bakal keberadaan masjid ini tidak lepas dari sosok seorang kiai yang bernama Kiai Hamimuddin. Beliau adalah salah satu tokoh berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di Malang Raya, terutama di Malang Utara. Kiai Hamimuddin juga merupakan mantan laskar Pangeran Diponegoro yang pada saat itu lari dari kejaran tentara Belanda sekitar tahun 1830.

Kiai Hamimudin lari dan menetap menuju wilayah Singosari tepatnya di daerah Bungkuk, di kawasan inilah beliau lalu mendirikan tempat tinggal, pesantren, hingga musala sekitar tahun 1850 sembari berjuang menyebarkan ajaran Islam di Malang Raya dan sekitarnya.

Sebagaimana diketahui dulu Singosari adalah sebuah kerajaan Hindu yang besar. Dahulu kawasan Bungkuk ini dekat dengan daerah pusat kerajaan, yang membuat pengaruh ajaran Hindu dan Budha masih sangat kuat.

Kedatangan Kiai Hamimuddin di Singosari menjadi langkah awal penyebaran agama Islam di Malang. Saat menyebarkan ajaran Islam, beliau memberikan ajaran yang bukan asli dari Arab, tetapi ajaran yang telah disesuaikan dengan kebudayaan di Jawa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada saat itu ajaran Islam masih belum banyak dikenal karena masyarakat disekitar kawasan tersebut masih dekat dengan ajaran Hindu dan Buddha. Sehingga jika ada beberapa santri Kiai Hamimmuddin yang melaksanakan ibadah salat, masyarakat yang masih awam dengan agama Islam menyebutnya sebagai daerah “bungkuk” karena melihat gerakan rukuk.

Masjid At-Thohiriyyah tentunya tidak asing lagi bagi warga Malang. Pasalnya masjid ini masih berada dalam kawasan komplek Pondok Pesantren Miftahul Falah atau juga dikenal dengan Pondok Bungkuk. Di tempat inilah yang dulu pernah menjadi tempat belajar bahkan penyebaran ilmu agama Islam di wilayah Malang Raya khususnya di Singosari.

Saat menyebarkan agama Islam Kiai Hamimuddin juga membangun Pondok Pesantren. Hal ini dilakukan untuk mempercepat syiar Islam di Singosari. Cara lain juga dilakukan beliau dengan menikahkan salah satu putrinya dengan Kiai Thohir yang masih termasuk keturunan Sunan Ampel dari Bangil.

Tidak butuh waktu lama, setelah menikahkan putrinya dengan Kiai asal bangil tersebut, pondok Bungkuk menjadi berkembang dan maju. Lalu pada saat Kiai Hamimuddin meninggal, Kiai Thohir menggantikannya untuk mengurus pondok Bungkuk.

Selama memimpin pesantren, Kiai Thohir mulai berinisiaitf untuk merenovasi dan membangun mushala untuk dijadikan masjid. Kemudian pada tahun 1950-an masjid direnovasi mengingat pesantren asuhannya jadi makin maju dan berkembang.

Sampai sekarang, Masjid At-Thohiriah telah mengalami tiga kali renovasi, yaitu sebelum tahun 1950, sekitar tahun 1950-an, dan yang terakhir pada tahun 2008. Walaupun telah mengalami perubahan sampai tiga kali, tetapi beberapa bagian masjid yang asli tetap dijaga dan masih dirawat hingga sekarang.

Bagian tersebut berupa empat pilar utama masjid, terbuat dari kayu jati dengan kaligrafi yang diukir dengan indah. Namun, di antara empat pilar tadi ada satu satu pilar yang bentuknya sedikit miring, akan tetapi pihak pengurus masjid tetap menjaga bentuk pilar tersebut dengan tidak mengubah keasliannya.

Masjid Ath-Thahiriyah kini sudah sering dijadikan tempat ziarah masyarakat Malang, para peziarah bahkan berasal dari luar Jawa. Hal ini dikarenakan adanya makam keluarga Kiai Hamimuddin, tepatnya berada di belakang bangunan utama masjid.

Kuburan keluarga Kiai Hamimmudin yang ada di Masjid Bungkuk (Gambar diambil dari blog Fahmialinh)

Di area tersebut ada 13 makam keturunan Kiai Hamimuddin termasuk menantunya Kiai Thohir, dan makam Masjkur (mantan menteri agama di masa Presiden Soekarno sekitar tahun 1947 sampai 1949).

Berdasarkan laporan dari Republika.co.id, di lahan masjid ini sebelumnya juga sering ditemukan bata merah tua yang menandakan adanya peninggalan yang usianya lebih tua dibandingkan Masjid Bungkuk. Bahkan, Soleh pernah menemukan koin lama dan gelang lengan bekas prajurit Singosari saat masa pemugaran sekitar 2008. Namun, sayangnya barang-barang ini hilang dan sudah berpindah tangan tanpa diketahuinya.

Pada sebuah Jurnal yang dituis oleh Kusmana, dijelaskan bahwa Peradaban Islam menginformasikan bahwa beberapa nilai dan sistem dari dimensi toleransi bertemu antara inspirasi normatif ajaran Islam dengan praktek historis dilapangan, seperti menghormati pelaksanaan agama, melindungi hak penganut agama lain, menghargai dan melindungi yang lemah, dan kesediaan untuk hidup berdampingan. Seperti pada lingkungan di Masjid Bungkuk yang mana Masyarakatnya sangat menjunjung tinggi rasa toleransi lo Ker.

Adapun lingkungan masyarakat di sekitar masjid, memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dengan lingkungan Pondok Bungkuk. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mohammad Amarullah dkk dalam Jurnal yang ditulis mereka, dikatakan bahwa keragaman  tradisi  keislaman  NU  yang  ada  di  masyarakat  dengan prosesi  ritual  yang  juga  beragam  tergantung  dari  bentuk  acara  yang akan diselenggarakan.

Tradisi  keislaman  NU  mampu  membentuk  karakter  masyarakat  yang sangat  erat  dengan   kearifan   lokal   dalam   hubungan sosial dengan lingkungan Pondok Bungkuk, yang mana juga mampu mempertahankan tradisi menurut Islam dan semakin mengembangkan pendidikan Islam di daerah masjid.

Untuk saat ini, Masjid tertua di Malang ini memiliki daya tampung sebanyak 800 jamaah. Selain dijadikan tempat salat fardhu, di sini juga dilaksanakan salat sunnah lain seperti salat tarawih, Idul Fitri, Idul Adha dan bahkan menjadi wisata religi. Untuk itu jangan pernah sekali-kali melupakan jasa para kiai kita dulu pada saat menyebarluaskan ajaran Islam ya Ker! (Fiq)

Penulis: Moh. Fiqih Aldy Maulidan

Editor: Rofidah Noor

2 thoughts on “Masjid Bungkuk, Saksi Masuknya Perkembangan Islam di Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.