Pelestarian Wayang Cina Jawa di Klenteng Eng An Kiong Malang

Pertunjukan Wayang Cina Jawa yang Dipimpin Oleh Dalang (Gambar diambil dari Antara.com)
DIORAMALANG.COM, 31 JULI 2020 – Berbicara soal wayang di Indonesia tentu tidak akan ada habisnya, keanekaragaman wayang di Indonesia hampir seluruh masyarakat mengetahuinya. Terlebih lagi dengan Wayang Kulit asal Jawa dan Wayang Golek asal Sunda, dan juga Wayang Topeng asal Malang.
Namun siapa sangka, bahwa sebenarnya etnis lain pun juga memiliki seni wayang. Usut punya usut ternyata etnis Tionghoa juga memiliki seni dan tradisi serupa, terutama wayang yang berkembang di Jawa.
Maka dari itu, kali ini Dioramalang akan mengenalkan kepada kamu tentang Wayang Cina di tanah Jawa dan juga upaya pelestarian Wayang Cina di klenteng Eng An Kiong Malang.
Kehadiran Bangsa Cina di Nusantara sejak dulu hingga saat ini sejarahnya masih diingat oleh masyarakat Indonesia. Banyaknya masyarakat yang menganggap bahwa etnis Tionghoa di Asia Tenggara sebagai minoritas dagang, membuat mereka seolah-olah tidak memiliki budaya ataupun seni tersendiri.
Namun sebenarnya etnis ini memiliki seni sendiri, yaitu Wayang Cina. Wayang Cina merupakan akulturasi budaya Cina dan Jawa, perpaduan antara dua etnis inilah yang akhirnya dapat membawa Wayang Cina masuk ke Nusantara khususnya pulau Jawa. Tidak kalah dengan Wayang Jawa, Wayang Cina juga banyak dikenal oleh masyarakat namun hanya pada lingkup etnisnya sendiri.
Sejarah Wayang Cina Jawa juga dijelaskan oleh Dwi Woro R. Mastuti dalam jurnal artikel yang ditulisnya, dimana Wayang kulit Cina-Jawa lahir di Yogyakarta tahun 1925 dan diciptakan oleh Gan Thwan Sing. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa. Musik karawitannya gamelan Jawa. Diperkirakan wayang ini pernah berjaya sekitar tahun 1930 hingga 1960an.
Setelah sang dalang Gan Thwan sing, sekaligus penciptanya wafat pada tahun 1966, wayang ini pun lenyap ditelan bumi. Tak seorang pun tahu atau pun pernah mendengarnya. Khususnya mereka yang saat ini berusia 70-an dan tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya.
Gan Thwan Sing, merupakan seorang peranakan Tionghoa, yang lahir di Jatianom, Klaten, Jawa Tengah. Awalnya dia mencoba mencari akar budaya Tiongkok, seperti belajar aksara dan bahasa Tiongkok pada kakeknya, Gan Ing Kwat.
Kesehariannya juga selalu bergaul dengan orang Jawa serta mengakrabi kesenian Jawa. Meski begitu, setelah menikah dengan orang setempat dan hidup bertahun tahun di sana, Gan Ing Kwat ternyata tidak mampu membendung kerinduan terhadap kesenian tanah kelahiran leluhurnya, yaitu Tiongkok.
Pemaparan B. Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah dalam buku yang ditulisnya, menjelaskan bahwa Wayang Cina di Yogyakarta, dijelaskan bahwa mula-mula ruang lingkup penyebaran wayang Cina-Jawa sebagai suatu bentuk pertunjukan, hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat Cina terutama pada golongan peranakan.
Dalam perjalanan masa, ruang lingkup penyebaran wayang Cina-Jawa itu tidak lagi terbatas hanya di kalangan masyarakat Cina saja, tetapi meluas sampai kalangan masyarakat umum, para priyayi dan penduduk kampung biasa. Masyarakat Jawa di Yogyakarta, ikut menyukai pergelaran wayang Cina-Jawa, karena hampir segala sesuatunya tak berbeda dengan pergelaran wayang kulit.
Laporan dari Historia.id, menjelaskan jika beberapa penulis menyebut Wacinwa (Wayang Cina-Jawa) sebagai wayang thithi. Namun, sebutan wayang thithi yang berasal dari bunyi alat musik kepyak yang mengacu pada penyebutan wayang potehi. Maka perlu kajian lebih lanjut terhadap istilah wayang thithi ini.
Wacinwa tentu berbeda dengan wayang Potehi yang dibawa dari Tiongkok. Wacinwa dibuat dengan memadukan Jawa dan Tiongkok. Lakonnya berasal dari cerita rakyat Tiongkok namun pertunjukannya memakai bentuk dan tata cara pagelaran wayang kulit Jawa.
Penjelasan tentang wacinca sendiri juga diterangkan oleh Bambang Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah dalam buku yang ditulisnya, menjelaskan bahwa Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta, corak Wacinwa pada bagian wajah hingga tata busana mengikuti wujud tokoh-tokoh cerita rakyat Tiongkok. Namun, beberapa hiasan, posisi tubuh, dan detail lainnya ada yang menyerupai wayang kulit Jawa.

Tokoh dalam Wayang Cina Jawa (Gambar diambil dari web Historia.id)
Penyajian dalam pertunjukan Wacinwa memakai cara wayang kulit Jawa. Pakemnya pun juga ditulis menggunakan bahasa dan aksara Jawa, tetapi lebih banyak menggunakan ragam ngoko. Narasi pun juga tetap menggunakan suluk, kandha, dan caritha.
Peralatan hingga dekorasinya juga sama, yakni dengan Wayang Kulit Jawa. Diiringi dengan musik yang juga sama, yaitu menggunakan gamelan slendro pelog beserta gendhing dan tembang-tembang Jawa. Adapun durasi pertunjukan, Wacinwa melakukan waktu pementasan yang sama yakni berkisar antara 6 hingga 7 jam.
Lalu apa yang membedakan Wayang Cina dengan Wayang Jawa? Menilik informasi dari Merahputih.com, perbedaan terletak pada lakon. Wacinwa menggunakan lakon cerita klasik kepahlawanan (wiracarita) Tiongkok, Sie Jin Kwie, nan kondang pada masa pemerintahan Dinasti Tang (618-907 M).
Tradisi Tiongkok tak mengenal konsep panakawan (tokoh penggiring setia, pembanyol, juga bersifat mitis). Namun Gan Thwan Sing tetap berusaha untuk menemukan persamaan tokoh. “Gan Thawn Sing tetap mengubah tokoh mirip panakawan dengan tata busana dan tata rambut bercorak China Klasik. Namun tak ada tokoh Semar, karena dianggap sebagai lambang kemuliaan orang Jawa,” terang Woro Mastuti, peneliti budaya Peranakan Tionghoa-Jawa.

Salah Satu Tokoh dalam Wayang Cina Jawa yang Kepalanya Dapat Diubah (Gambar diambil dari Merahputih.com)
Setelah menyimak penjelasan mulai dari sejarah hingga perbedaan Wayang Cina dengan Wayang Jawa, usia Wacinwa yang kini sudah hampir ribuan tahun memang tidak terjadi regenerasi hingga saat ini. Sungguh sangat disayangkan sekali. Namun kali ini ada beberapa daerah di Jawa masih berupaya untuk melestarikan Wayang Cina Jawa. Salah satunya yaitu pada Klenteng Eng An Kiong Malang.
Di Klenteng ini hanya tersisa satu dalang saja yang masih mampu mementaskan Wayang Cina. Meski sampai saat ini belum ada regenerasi pada Wayang Cina, Klenteng Eng An Kiong masih sering menunjukan Wayang Cina pada masyarakat Malang. Bukan hanya itu, di sini ada juga pertunjukan Wayang Potehi yang sudah mulai terlupakan.

Suasana Penonton Wayang Cina di Klenteng Eng An Kiong Malang (Gambar diambil dari Terakota.id)
Meski Wayang Cina Jawa dan Wayang Potehi ini bukan dicetuskan di Malang, namun masyarakat etnis Tionghoa di Malang selalu dibuat bangga dengan adanya seni kesusastraan ini. Maka tak heran juga jika Malang ini memiliki julukan daerah 1000 budaya.
Berdasarkan laporan dari Terakota.id, Widodo Santoso, yang merupakan salah satu dalang atau Sehu dari tujuh dalang wayang potehi yang ada di Nusantara ini mengaku bersyukur bisa menjadi dalang.
Selain turut melestarikan seni tradisi Tionghoa, ia sekaligus dapat mengenal berbagai karakter di berbagai daerah. Widodo telah keliling Indonesia bahkan juga menggelar pementasan Jepang, Taiwan, dan Cina.
Beberapa dari kita mungkin masih sedikit acuh dengan seni budaya etnis lain yang ada di Jawa. Namun setelah menyimak penjelasan di atas, bukankah seharusnya kita mulai tersadar untuk turut andil dalam melestarikan seni budaya tersebut? Perbedaan etnis bukan menjadi alasan untuk kita absen dari pelestarian seni budaya. Untuk itu, tetap jaga dan lindungi seni budaya kita ya Ker! (Siw)
Penulis: Shofiyatul Izza W
Editor: Rofidah Noor