Bahasa Malangan, Keunikan yang Jadi Ciri Khas dan Identitas

Bahasa Malangan yang Sering Digunakan Untuk Menarik Wisatawan Agar Berkunjung Menikmati Keindahan Malang (Gambar diambil dari web Javanesiatours.com)
DIORAMALANG.COM, 20 JULI 2020 – “Halo Ker! Sek tamanges a?” satu pertanyaan yang keluar dari Alisha Ramadania, salah satu Arek Malang asli dengan menggunakan Bahasa Malangan. Bagi kamu yang bukan masyarakat Malang asli, tentu akan merasa asing dan bingung akan pertanyaan tersebut. Namun tidak perlu khawatir Ker, cukup simak terus ulasan ini kamu akan paham dan mengerti tentang Bahasa Malangan yang hingga kini masih menjadi ciri khas dan identitas masyarakat Malang.
Pada dasarnya, Malang memiliki berbagai bahasa yang dinilai unik dan sudah menjadi ciri khas sebagai identitas budaya mulai dari bahasa Jawa Timuran, bahasa walikan (kebalikan) hingga bahasa Malangan sendiri. Disini, Dioramalang akan lebih membahas bahasa Malangan terlebih dahulu secara meluas.
Bahasa Malangan merupakan wujud ciri khas budaya masyarakat Malang dalam berkomunikasi. Setiap daerah di Jawa Timur memiliki ciri khasnya masing-masing dalam berkomunikasi. Seperti contoh daerah Blitar dengan kata “Peh”, Tulungagung dengan kata “tho” dan juga Bojonegoro dengan kata “ta”. Malang sendiri juga memiliki ciri khas dengan menambahkan huruf vokal “a” dibelakang kata.
Bahasa yang digunakan pun beragam tidak hanya bahasa Jawa melainkan juga bahasa Indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan proses komunikasi sehingga semua masyarakat bisa menerima pesan tersebut tapi tetap dengan gaya Malangan. Penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia bisa disebut sebagai kedwibahasaan.
Kedwibahasaan tersebut juga dijelaskan oleh Sudjalil dalam Jurnal Humanity yang ditulisnya, dimana ciri utama kedwibahasaan adalah dipergunakannya dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau kelompok, tetapi kedua bahasa itu tidak mempunyai peranan sendiri-sendiri di dalam masyarakat pemakai bahasa.
Berikut beberapa contoh kata yang ditambahkan dengan huruf vokal “a” sebagai ciri khas Malang:
1. Sehat a? = Sehat kah?
2. Iyo a? = Iya kah?
3. Ate kuliah a? = Mau kuliah kah?
4. Numpak sepeda a? = Naik sepedah kah?
5. Turu a? = Mau tidur kah?
6. Ngopi a? = Mau ngopi kah?
7. Wes mangan a? = Sudah makan kah?
8. Wes mari a? = Sudah seleai kah?
9. Moleh a? = Pulang kah?
10. Dewean a? = Sendirian kah?
Dari beberapa contoh diatas, bisa kita lihat Ker kalau Malang juga memiliki ciri khas yang menjadi identitas bagi masyarakat Malang dalam proses komunikasi. Berdasarkan Jurnal Komunikasi yang ditulis oleh Kristina Andryani, menjelaskan bahwa adanya identitas dapat lebih memudahkan manusia menggambar keadaan sesuatu sehingga dapat memberikan kemudahan manusia untuk bertindak dan identitas tidak bisa dilepaskan dari adanya suatu kelompok.
Kini, eksistensi Bahasa Malangan masih kental dan erat kaitannya dengan masyarakat Malang. Ditambah lagi, bahasa Malangan tidak hanya digunakan oleh para orang tua melainkan juga para remaja yang kini disebut sebagai “milenial”. Penggunaan bahasa Malangan oleh para milenial Malang dikarenakan bahasa tersebut sudah menjadi kebiasaan di kehidupan sehari-hari.
Bahkan penyampaian pesan dengan bahasa Malangan, tidak hanya dilakukan oleh sesama warga Malangan namun juga disampaikan kepada masyarakat luar Malang. Salah satu contoh adalah di lingkungan kampus, dimana terdapat mahasiswa yang berasal dari luar Malang bahkan luar Jawa dan mereka sering menerima pesan dengan penggunaan bahasa Malangan.
“Ya selama di Malang ini saya sering mendengar teman yang asli dari Malang bertanya kepada saya dengan menambahkan atau memanjangkan huruf a diakhir kalimat dan saya juga mencoba memahaminya”, jelas Novita Nilamsari, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang berasal dari Pasuruan. Maka dari itu, adanya penggunaan bahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan gaya Malangan adalah untuk mempermudah dalam memahami pesan bagi para masyarakat luar Malang.
Keunikan bahasa Malangan yang menjadi ciri khas bukan tanpa alasan. Hal tersebut dikarenakan bahasa Malangan sebagai petunjuk identitas agar masyarakat Malang lebih mudah dikenali dengan gaya bahasa yang digunakannya dalam berkomunikasi. Meskipun awalnya terdengar asing, namun tidak butuh waktu lama untuk memahami pesan dengan gaya Malangan tersebut. Penggunaan bahasa yang fleksibel dengan penggunaan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia, membuat bahasa Malangan tidak terlalu sulit untuk dipahami.
Meskipun demikian, bahasa Malangan tentu harus terus dijaga agar masyarakat Malang tidak kehilangan identitas budayanya. Memang, bahasa sudah digunakan sehari-hari dalam berkomunikasi, namun tetap harus terdapat bentuk penjagaan agar tidak tergusur oleh bahasa modern lainnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika bahasa tersebut disebarluaskan agar semakin populer dan semakin menarik untuk digunakan dalam berkomunikasi.
Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Eva Ria Fransiska, menjelaskan bahwa salah satu sarana yang dapat digunakan sebagai ajang promosi budaya adalah melalui kegiatan literasi kebudayaan. Literasi kebudayaan merupakan kegiatan literasi yang mengusung tema kebudayaan di dalamnya. Jadi bisa dikatakan bahwa dengan adanya literasi kebudayaan, bahasa Malangan bisa terus mengalir dalam proses komunikasi khususnya bagi para masyarakat Malang. Gimana Ker? Gak ingin belajar a? Kuy belajar bahasa Malangan untuk memperkaya pengetahuan akan kebudayaan! (Awp)
Penulis: Alvien Wardhana Poernomo
Editor: Rofidah Noor