Eksistensi Ludruk Malang Kian Hari Kian Memburuk

Kesenian Ludruk yang Semakin Lama Semakin Sedikit Peminat (Gambar diambil dari web Riyardiarisman.com)

“Kebudayaan tidak dapat dipertahankan saja, kita harus berusaha merobah dan memajukan, oleh karena kebudayaan sebagai kultur, sebagai barang yang yang tumbuh. Dapat hilang dan bisa maju” Mohammad Hatta

DIORAMALANG.COM, 4 JUNI 2020 – Berbicara mengenai budaya tentu saja tidak akan berujung, apalagi ditambah dengan sejuta budaya dan kesenian yang dimiliki oleh negara kita Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke, tentu saja tersimpan keanekaragaman budaya, kesenian, tradisi, dan sejarah. Namun sangat disayangkan jika sedikit saja bagian dari budaya maupun kesenian yang kita miliki dirampas begitu saja oleh negara lain. Jika hal tersebut sudah terjadi, lalu siapa yang harus disalahkan? Tentu saja kita sendiri sebagai warga negara Indonesia yang seharusnya melindungi dan menjaga dengan baik kultur yang dimiliki.

Sejuta kekayaan budaya, tradisi, kesenian, dan sejarah yang kita miliki saat ini tentu sangat beragam sekali. Salah satunya kesenian yang lahir di tanah Jawa Timur yaitu Ludruk. Tentu saja banyak dari kalian sudah mengerti tentang kesenian Ludruk ini.

Terutama pada generasi tahun 1940 hingga tahun 1970 an, mereka paham betul bagaimana pementasan drama kesenian Ludruk. Mulai dari pembukaan yang diawali dengan Tari Beskalan hingga Lawak yang dimainkan oleh beberapa grup di atas panggung. Memori mereka seakan berusaha mengingat kembali lagi ketika menyaksikan Ludruk pada masa sekarang.

Maka tidak heran jika kebanyakan penonton kesenian Ludruk pada saat ini adalah mereka yang pernah mengagumi Ludruk pada masanya. Jarang sekali kita jumpai generasi Z yang turut hadir menyaksikan Ludruk. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Tentu saja ini selalu dibarengi dengan perkembangan zaman, yang semakin hari semakin menggerus Negara kita.

Zaman boleh berkembang tapi jangan sampai budaya kita menghilang. Upaya kita dalam menjaga budaya, kesenian, dan tradisi bukan hanya cuat-cuit di medsos saja, namun segala tindakan dalam melestarikan juga harus terlihat hingga akhirnya budaya kita tetap selamat.

Ludruk yang lahir di Jawa Timur, terutama pada Surabaya, Jombang, dan Malang ini memiliki berpuluh-puluh paguyuban yang berupaya untuk melestarikan drama kesenian Ludruk. Di Malang saja pada tahun 1930an sampai tahun 1984an sudah banyak paguyuban drama kesenian Ludruk yang hadir di tengah-tengah masyarkat pada masa itu. Drama kesenian Ludruk di Malang pada masa itu tentu saja sangat mengalami perkembangan yang luar biasa, ditambah lagi dengan penonton Ludruk yang hadir dari berbagai kalangan.

Penyampaian pesan dari Lakon Ludruk pada penonton lah yang membuat setiap orang selalu ingin menonton kembali. meskipun kesannya hanya candaan dan lelucon saja, namun banyak pesan-pesan moral yang disampaikan. Hal itu lah yang tidak dimiliki oleh Daerah-daerah lainnya, ini yang seharusnya harus kita pertahankan hingga saat ini.

Drama kesenian Ludruk di Malang pada saat ini sejatinya masih dapat berkembang hingga saat ini, namun lagi dan lagi zaman lah yang menuntut sebagian orang yang terlibat dalam paguyuban harus memindahkan haluannya untuk mencari rezeki di pekerjaan lainnya. Ya, sebagian paguyuban drama kesenian Ludruk di Malang pada masa kejyaannya menjadikan pentas Ludruk sebagai mata pencaharian.

Tidak dapat disalahkan jika itu digunakan sebagai mata pencaharaian, mengingat pada zaman dahulu peminat Ludruk di Malang Raya sangat membludak sekali. Hal tersebut bukan semata-mata untuk mengais rezeki saja, namun juga dijadikan wadah untuk mengenalkan drama kesenian Ludruk di Malang.

Sedikit demi sedikit paguyuban drama kesenian Ludruk di Malang mulai hilang dan luntur ditelan zaman. Sedih dan miris mendengarnya terutama bagi mereka yang dulunya cinta pada kesenian ini. Kesenian Ludruk yang dulu kehadirannya selalu dinanti oleh warga Malang, namun saat ini hanya tinggal kenangan saja.

Peminat Ludruk di Malang sudah tidak semeriah dan seheboh dulu bahkan nyaris hilang. Saat ini drama kesenian Ludruk di Malang hanya hadir di sebagian Kecamatan dan Desa saja. Terutama pada Daerah Malang Selatan. Padahal pada zaman dahulu drama kesenian Ludruk hadir menyeluruh di seluruh Kota dan Kabupaten Malang.

Berbagai kalangan msayrakat di Malang pada saat itu juga ikut serta dalam menyaksikan drama kesenian Ludruk, mulai dari tukang becak, petani, pedagang, dan lain sebagainya. Pegiat drama kesenian Ludruk pun juga terlibat dari berbagai Kecamatan dan Desa di Kabupaten dan Kota Malang.

Hal tersebut sangat berbanding terabalik dengan saat ini, yang mana saat ini paguyuban drama kesenian di Malang Raya hanya tinggal hitungan jari saja. Hilangnya sebagian paguyuban drama kesenian Ludruk ini membuat sebagian masyarakat di Kabupaten maupun Kota Malang harus menahan rindu yang teramat dalam dengan segala sesuatu yang ada pada kesenian Ludruk. Mulai dari iringan musik gamelan yamg senada dengan guyonan para lakon hingga tarian yang disajikan.

Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai generasi penerus Bangsa pada kebudayaan dan tradisi yang lambat laun menghilang digerus zaman? Sebagian dari kita memang tidak terlahir dari darah seorang budayawan, sastrawan, penari, pelawak, dan sebagainya. Tapi kita diwajibkan untuk tetap melestarikan, menjaga, dan mewarisi budaya, tradisi, kesenian terdahulu sebagaimana mestinya. Perkembangan zaman bukan menjadi alasan untuk mengatakan bahwa tradisi, budaya, dan kesenian terdahulu adalah kuno.

Sebagai generasi penerus seharusnya kita bangga dengan kesenian yang kita miliki, bukan malah mengedepankan rasa malu untuk tetap menjaga keutuhan budaya dan tradisi kita. Justru dengan seiring berkembangnya zaman adalah kesempatan bagi kita untuk memperkenalkan budaya, tradisi, dan kesenian kita pada orang lain yang belum mengetahui.

Kita nantinya juga akan memiliki anak cucu, dan jangan sampai mereka juga ikut merasakan apa yang kita rasakan. Yaitu kehilangan kesenian, tradisi, dan budaya yang dimiliki, dan hilang di tanah kelahirannya sendiri. Jangan banyak memilih dan memilah pada siapa budaya, kesenian, dan tradisi yang akan kamu kenalkan, karena sejatinya “Budaya bukanlah sesuatu yang diwariskan melalui gen” – Paulo Coelho (1947). (Siw)

Penulis: Shofiyatul Izza Wahyuni

Editor: Rofidah Noor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *