Apa Artinya Kaya Budaya Bila Tak Terjaga?

Seni budaya yang mulai ditinggalkan masyarakat (Gambar diambil di web Docplayer.info)

DIORAMALANG.COM, 4 JUNI 2020 – Banyak yang cinta budaya tapi sayangnya itu hanya wacana. Memang benar saat budaya diakui negeri tetangga, jemari sigap melontarkan kata pedas di akun sosial media. Tapi begitukah kita saat budaya masih aman sentosa? Kenapa baru diakui saat tetangga baru kita menjadi membabi buta. Indonesia memiliki 7.139 pulau menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentunya dengan berbagai bahasa dan budaya yang berbeda-beda, namun sudahkah kita membuka mata? Dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas hingga pulau Rote tersebar 2.319 cagar budaya menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMDIKBUD) yang mana diantaranya yang benar-benar terjaga oleh kita?

Peneliti Lembaga Kemitraan/Patnership Lenny Hidayat pernah mengatakan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang menjadi warisan dunia seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Situs Manusia Purba Sangiran. Walau sudah dikenal luas oleh dunia, namun masyarakat Indonesia masih banyak yang tidak paham makna yang terkandung di dalamnya. Jadi sebenarnya apa guna mengatakan cinta budaya bila tak diimbangi rasa peka.

Berapa banyak dari kita khususnya anak muda yang mau menggali informasi tentang budaya Indonesia, Borobudur adalah contohnya. Warisan budaya yang sudah diakui dunia (world Heritage) oleh UNESCO, sudah berumur 1.195 tahun, tapi informasi yang tersedia pada situs tersebut masih saja minim. Sebenarnya negara Indonesia memiliki kapasitas untuk melestarikan sebuah budaya, hanya saja semua pengetahuan dan informasinya masih tersimpan rapi dalam generasi yang tidak muda lagi.

Arus dari globalisasi yang begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat, memang begitu mengerikan, di satu sisi memang terlihat membantu kebutuhan umat manusia, tapi di satu sisi yang lain justru membuat generasi muda kehilangan jati diri mereka. Padahal banyak masyarakat dari seluruh dunia sengaja datang ke Indonesia hanya untuk menikmati dan juga mempelajari tentang kebudayaan kita, tapi ironisnya justru malah dari generasi muda yang tidak peduli mengenai warisan budaya dari leluhurnya.

Seperti contohnya seorang selebgram dengan nama akun @berlliana.lovell yang sempat viral pada tahun 2019 silam. Jangankan untuk mengenal budayanya sendiri, Berlliana bahkan tidak mengetahui bahwa Lampung juga bagian dari Indonesia. Hal tersebut termuat dalam Lampung.rilis.id dimana jawaban Berlliana saat ditanya salah satu followersnya, apakah dia berasal dari Lampung? dengan polosnya dia mengatakan “Apa Lampung? Itu sejenis tanaman hias atau binatang buas sih? Aduh nggak tau daerah perkampungan gitu, aku agak alergi kalau ke tempat kayak gitu,”  katanya.

Apa sebenarnya arti cinta budaya yang sering diucap tapi tak ada makna. Jika memang benar cinta budaya, bukankah seharusnya kita senantiasa memberi dan mempertahankan, bukan malah merendahkan? Apalagi itu adalah budaya yang dimiliki. Jika kalimat cinta budaya ternyata memang hanya untuk kepentingan sosial media, mengapa menjadi marah saat budaya kita telah diakui negara tetangga.

Kasus Berlliana hanyalah sebagian contoh kecil dari sebuah fenomena cinta budaya, yang ternyata hanya wacana. Tentu tidak lupa dengan budaya Korea, yang semakin hari semakin merajalela di Indonesia. Bisakah kita mengimbanginya dengan budaya kita? Padahal begitu banyak warisan budaya kita bahkan beberapa juga sudah diakui oleh dunia, tapi adakah rasa bangga?

Cobalah sedikit membuka mata, dari Detiktravel.com, budaya Indonesia yang sudah mendunia tidak hanya beberapa, diantaranya ada Tari Kecak, Tari Pendet, Tari Barong, Wayang, Angklung, Keris, Tari Saman, Reog Ponorogo, Sendratari Ramayana dan juga Batik. Banyak budaya kita yang diakui dunia, bukan hanya ada satu atau dua seperti negara lainya.

Terkadang terlintas pemikiran, masih adakah dari kita yang mendengarkan lagu khas budaya Indonesia, atau jangan-jangan smartphone canggih model terbaru yang kita miliki isinya lagu barat dan Korea semua. Jika negara Korea dengan musik KPOP-nya saja bisa membuat negaranya dikenal oleh dunia, bukankah seharusnya kita malu karena negara kita kaya budaya.

Tidak hanya seni dan juga budaya, nyatanya dalam hal bahasa juga terancam keberadaannya. Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bahasa daerah yang ada di Indonesia berjumlah 652 bahasa, dan seiring dengan berjalanya waktu sepertinya akan semakin berkurang jumlahnya.

Seperti penjelasan dalam jurnal milik Muhammad Darwis yang berjudul Nasib Bahasa Daerah Di Era Globalisasi: Peluang Dan Tantangan dimana kepedulian dalam menggunakan bahasa daerah benar-benar mengecewekan, bahasa daerah dianggap negatif bahkan dipandang tidak bermatabat. Alasan tidak banyak digunakanya bahasa daerah juga sangat konyol, yaitu karena bahasa dinilai terlalu kuno dan jauh dari hal-hal modern.

Bahasa daerah juga sering dikaitkan dengan nilai kemiskinan dan juga kebodohan, bahkan bahasa daerah dianggap menghalangi kemajuan. Melihat fakta atas alasan mengapa bahasa daerah mulai jarang digunakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Darwis, bukan tidak mungkin bila kedepanya bahasa daerah yang kita miliki akan semakin berkurang dan punah secara perlahan.

Jka masih memandang rendah bahasa daerah yang kita punya, bagian mana sebenarnya yang megatakan kalau kita cinta budaya Indonesia. Apalagi namanya bila bukan hanya wacana, jika memang malas menjaga budaya kita, apa artinya sebutan kaya budaya, apa artinya kita marah di sosial media saat budaya diakui oleh negara tetangga.

Mencintai sebuah budaya bukan hanya dari status di sosial media, tapi juga harus diwujudkan dalam dunia nyata. Bahasa daerah juga penting untuk dijaga, karena bahasa daerah juga turut menyumbang kosakata dalam bahasa Indoensia. kata “nyeri” adalah contohnya, kata yang artinya “rasa yang menimbulkan penderitaan” menurut KBBI, ternyata berasal dari bahasa daerah Sunda, atau kata “lawas” yang memiliki arti yaitu “lama/tua” menurut KBBI, ternyata berasal dari bahasa Jawa dan masih banyak lagi.

Jangan biarkan sebuah anugerah berubah menjadi malapataka. Sebagai generasi pemilik gudang seribu budaya, tunjukan partisipasi dalam menjaga aneka budaya nusantara. Jika benar memang cinta budaya, jangan tunggu sampai diakui negara tetangga, karena akan percuma nantinya walau disebut negara yang kaya akan budaya. Mari lestarikan budaya tanpa ada kata lelah, jangan ada kata menyerah. (Syz)

Penulis: Syaifudin Zuhri

Editor: Rofidah Noor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.