Siapa Sih Sosok Dibalik Kampung Payung Sumekar?

Mbah Rasimun Sosok Dibalik Beridirinya Kampung Sewu Payung Sumekar, Kota Malang (Gambar diambil dari web Tempo.co)
DIORAMALANG.COM, 23 MEI 2020 – Kampung warna-warni mungkin sudah biasa. Namun bagaimana dengan kampung seribu payung? Di Kota Malang ada kampung wisata tematik yang cantiknya nggak kalah dengan kampung warna-warni, kampung ini bernama Kampung Payung. Kampung yang satu ini berhiaskan payung kertas dengan berbagai warna yang sudah mulai terlupakan oleh warga.

Kampung Sewu Payung Sumekar (Gambar daimbil dari web beritajowo.com)
Kampung unik ini berada di Jalan LA Sucipto Gang Taruna III tepatnya di RW. 03 Kelurahan Pandanwangi, Kecamatan Blimbing Kota Malang. Kampung Payung berhasil menujukkan eksistensinya lewat sosok maestro Payung bernama Mbah Rasimun.
Berkat kerajinan payung kertas, Mbah Rasimun memperoleh penghargaan dari Paduka Mangkunagoro IX Kasunanan Surakarta dan Mataya. Penghargaan yang diperolehnya membuat warga sekitar tergerak untuk ikut mengembangkan keahlian pada industri payung kertas ini.
Kampung padat penduduk ini resmi menjadi kampung tematik dengan nama “Kampung Sewu Payung Sumekar” pada November 2017 yang kala itu disahkan langsung oleh Abah Anton, Walikota Kota Malang. “Kampung Payung ini semakin menambah destinasi baru untuk dikunjungi di Kota Malang. Hal ini tentu sangat bagus. Ditambah berkat maestro kita Mbah Rasimun, Kelurahan Pandanwangi jadi semakin indah karena kreasi payungnya,” ujar Abah Anton yang dikutip dari Malangtimes.com.
Acara peresmian kampung turut disemarakkan dengan workshop pelatihan pembuatan payung tradisional yang melibatkan karang taruna, pelajar, ibu rumah tangga, dan masyarakat umum.
Sebelumnya, kampung yang berada di Gang Taruna III Pandanwangi ini merupakan kampung industri payung yang seiring dengan perkembangan zaman, kehadirannya mulai terlupakan oleh warga. Kemudian payung kertas ini mulai dikembangkan lagi oleh Mbah Rasimun yang sudah dipelajarinya sejak tahun 40 an.
Kala itu Mbah Rasimun masih berumur 18 tahun. Ia belajar membuat payung mutho dari salah seorang penduduk Tanggul Angin Sidoardjo yang mengungsi di keluarga Rasimun akibat agresi militer Belanda tahun 1945. “Para pengungsi ini ternyata ahli membuat payung mutho. Dari aktivitas keseharian mereka, akhirnya saya tertarik belajar membuat payung mutho,” jelas Rasimun yang dikutip dari Poskita.co.
Saat itu kondisi negara sedang tidak kondusif. Belanda terus menerus menyerang warga dan berusaha menguasai Indonesia. Rasimun muda kemudian ikut berjuang melawan Belanda. “Saya pada saat itu ikut gerilnya memerangi Belanda, di sela-sela itu saya tetap membuat payung mutho. Boleh dikatakan, dalam membuat payung mutho harus sembunyi-sembunyi” jelas Rasimun.
Setelah masa agresi militer mereda, Rasimun kembali ke daerah asalnya dan melanjutkan pekerjaannya membuat payung mutho. Namun sayang, tahun 1965 krisis ekonomi mulai melanda Indonesia dan kasus pemberontakan G30 S/PKI meletus. Dua faktor tersebutlah yang kemudian menimbulkan daya beli masyarakat jadi menurun, Rasimun terpaksa beralih profesi menjadi tukang becak.
Lalu pada awal 1980an, kondisi bangsa Indonesia kembali stabil di berbagai aspek yang kemudian hal tersebut dimanfaatkan oleh mbah Rasimun untuk kembali membuat kerajinan payung mutho sampai sekarang.
Saat itu uang modalnya hanya Rp 100 ribu, dan uang tersebut adalah hasil pemberian anaknya yang kala itu baru saja melangsungkan pernikahan. Dari uang tersebut, Mbah Rasimun berhasil mengembangkan kerajinan berupa payung mutho yang saat ini bisa kamu lihat di Kampung Payung Sumekar.
Kini usia Mbah Rasimun sudah menginjak 93 tahun. Walaupun sistem pendengarannya mulai berkurang, namun matanya masih cukup awas untuk kerajinan payung. Ia bahkan masih sanggup untuk membuat detail-detail kecil yang dibantu dengan kacamata kunonya.
Meski sudah tak lagi muda, namun Mbah Rasimun masih tetap bersemangat dalam menjalankan misinya untuk mengembangkan dan memperkenalkan kembali kerajinan payung kertas, hal tersebut merupakan bentuk dedikasinya dalam pelestarian terhadap kebudayaan yang sudah lama ditinggalkan.
Penulis: Rofidah Noor
Editor: Alvien Wardhana